#12 || Gampangan?

968 131 47
                                    

"Tumben. Gue kira mau mengacaukan hari gue sampai subuh," sindirku saat Ved pamit usai mengantar hanya sampai depan gedung apartemen.

"Tenang, Na. Akan ada waktunya."

Aku mendecih geli. "Yaudah, thanks udah nganter gue."

Ved mengambil helm yang kusodorkan. Mimiknya seperti ingin mengatakan sesuatu. Kutunggu cowok itu beres meletakkan helm cadangannya, tapi mulutnya masih bungkam bahkan ketika motornya sudah menyala.

"Kalau gue ..." Terjeda. Ved menatapku intens, mungkin sekitar lima detik. Tapi kemudian dia tersenyum dan menepuk puncak kepalaku tanpa meneruskan ucapannya. "Masuk gih."

Dua alisku tertaut heran. "Lo aneh banget sih hari ini."

"Gitu ya?"

"IYA."

Kekehan pun menjadi respon cowok itu. Dan perlu diketahui, Ved adalah cowok kedua yang menepuk kepalaku seperti tadi, dan ini kali pertama dia bersikap manis. Maksudku, manis tanpa seringai jahil. Dia gak naksir gue, kan?

"Gue balik," pamitnya. "Masuk gih."

Bahuku mengedik. Bodo amatlah.

.......

Yang kudapati saat masuk apartemen adalah, berantakan. Kami pergi terburu-buru sampai lupa beres-beres. Bekas snack dan kaleng minuman banyak berserakan di atas karpet. Kugantungkan tas pada hanger, lantas membereskan kekacauan itu lebih dulu.

Bisa berabe kalau rebahan dulu. Yang ada mal-

CKLEK

Siapa yang berani buka pin-

"Gue baru tahu Ved beralih jadi supir taksi." Pi merangsek masuk, menyindirku seraya menatap tajam ke arahku.

Kenapa langkahnya gak pernah kedengeran sih!?

"Jawab, Na."

Napasku terhela. "Masalah banget buat lo?" Kulanjutkan menyapu demi menghindarinya. Namun sapu itu segera dirampasnya.

"Masalah."

Tanganku dicengkeram dan tertarik kasar menghadapnya. Kufokuskan pandanganku pada wajah penuh emosi itu. Kenapa dia marah banget sih? Urat-urat lehernya menegang. Netra teduhnya bahkan berubah dingin. Apa aku salah lihat?

"Apa masalahnya?" tanyaku datar.

Pi meneguk saliva kasar. "Gue yang harusnya tanya." Cengkramannya di pergelangan tanganku mengendur sebelum dia memejam dan menurunkan pandangan. "Apa masalah lo?" sergahnya. "Gue bikin salah apa sampai lo hindari gue abis-abisan?"

Masalah. Masalah. Masalah.

Ingin sekali aku tertawa. Mungkin memang gak ada masalah di antara kita, Enggar. Mungkin ini memang masalah gue dengan diri gue sendiri.

"Bukannya harusnya lo seneng?" timpalku. "Gue udah enggak lagi mengacaukan acara kencan dan quality time lo sama cewek lo itu. Kenapa malah marah-marah?"

"Apa selama ini gue bilang kalau gue gak seneng?"

"Jadi lo seneng gue ganggu?"

Pi menghela napas. "Gue gak punya alasan buat gak seneng saat sama lo, Na."

"Lo harusnya punya," tandasku. "Terlebih saat gue jelas-jelas, dengan sengaja, gangguin kalian pacaran. Lo harusnya marah, Pi. Kecuali," Kufokuskan pandanganku lekat-lekat padanya, "lo suka sama gue."

Rahang Pi mengetat. Netra legamnya menghunusku kuat. Namun mulut cowok itu mengatup rapat.

Senyum sinisku tersungging. "Kenapa? Gak bisa jawab?" Lenganku sepenuhnya lepas dari cengkraman. Aku melipatnya di dada. "Lo suka gue?" tanyaku dengan intonasi sarkas.

[✓] IF (Friendshit, Broken Home, Love triangle)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang