#16 || Apa ini?

915 138 39
                                    

Satu hari berlalu. Berita soal orang tuaku masih menjadi trending terpanas. Potret diriku yang diambil candid oleh penguntit pun tersebar luas tanpa ijin. Di jejaring medsos dan di televisi. Aku yang mengobrol dengan Keas di taman tempo hari, aku yang berdiri termenung di halte dan berakhir di boncengan Ved, dan lain-lain. Kini aku tahu dari mana rasa diawasi - yang beberapa hari ini kurasakan - berasal. Aku memang diikuti, dikuntit.

Bersama dengan itu pula, identitasku terbongkar. Setidaknya, mereka tahu jelas wajahku. Meski aku heran bagaimana cara mereka mencari tahu - berhubung sosmedku suram tanpa potret diri - lalu menemukannya.

Papa bahkan menghubungiku dan memintaku bersabar - dan kalau bisa, jangan banyak keluar - selagi beliau menangani berita ini agar tidak semakin menjadi.

"Telpon saya kapan pun anda ingin keluar, Nona." Begitu ujar bapak sopir yang ditugaskan papa untuk menjagaku. Namun, sekali pun aku belum pernah menggunakan jasanya. Aku belum tertarik untuk keluar.

Lalu, ponselku berbunyi untuk ke sekian kali. Kuhela napas panjang sebelum beranjak dari sandaran nyamanku di sofa, lantas meraih ponsel yang tergeletak mengenaskan di atas meja - akibat kuabaikan dua hari ini.

Awalnya menggulir layar malas, tapi kemudian tercekat. Instagramku ditandai oleh banyak akun - yang tetiba mengikuti. Beberapa disertai screenshot headline news protal online. Tulisannya menuliskan inti yang sama.

Yumna dilarikan ke rumah sakit.

Kemudian, seakan ingin meyakinkanku, satu acara gosip di televisi menayangkan berita serupa. Tidak ada potret atau pun video Yumna di sana, tetapi kabar jatuh sakitnya dipastikan benar - dibenarkan oleh pihak rumah sakit.

Apa hanya itu saja?

Tentu tidak.

Hal mengejutkan lainnya, tepat ketika aku termenung lama dengan pikiran berkelana ke mana-mana, pintu apartemenku diketuk. Sontak kepalaku tertoleh. Papa sudah memastikan bahwa tidak ada satu media pun yang mampu menjangkauku di sini. Lalu siapa? Pi? Tidak mungkin. Cowok itu tidak pernah ketuk pintu.

Kulangkahkan kaki hati-hati. Menarik napas dalam-dalam, mengembusnya, lalu meyakinkan diri. Kutekan gagang pintu ke bawah, pintu pun berderit pelan dan terbuka. Lalu sosok yang tidak kusangka-sangka pu  berdiri menjulang di hadapanku.

John Auriga.
Suami wanita itu.

......

"Kamu pasti kaget tiba-tiba om ke sini," John memulai pembicaraan.

Mulutku akan tetap rapat hingga maksud kedatangannya berhasil kupahami.

"Mamamu sakit, Thana."

Terus?

"Om mengerti, kamu pasti sangat membenci mamamu, mengingat sikapnya yang memang keterlaluan." John menunduk. Wajahnya memang terlihat keruh sejak awal masuk. "Meskipun begitu, bolehkah om meminta sesuatu?"

Ada jeda beberapa detik sebelum aku bereaksi. Meminta. Meminta. Meminta. Kenapa rasanya seperti akan ada sesuatu yang terjadi?

"Apa?" tanyaku datar.

John tatap netraku lekat-lekat. "Temui mamamu."

"..."

"Sejak tidak sadarkan diri, yang lirih keluar dari mulutnya hanya namamu. Saat siuman, dia terus melamun, ujungnya menangis, dan lebih menangis saat Ruby menyebut nama kamu."

Kuakui, Om John adalah orang baik. Namun kelakuannya dengan mama di masa lalu membutakanku dari kebaikan itu. Aku belum bisa terima-

"Om mohon, Thana." Netra itu berkaca, tipis sekali, tetapi masih bisa kulihat. "Setidaknya ambillah waktu agar kalian bisa bicara berdua. Kamu mau, kan?"

[✓] IF (Friendshit, Broken Home, Love triangle)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang