#13 || Hanya Teman

891 133 46
                                    

Sayangnya, tidak. Belum, tepatnya.

Aku belum tertarik untuk mengatakan bahwa pacarnya, adalah adikku yang lain.

Perjalanan kami ke sekolah ditemani kesenyapan. Pi dengan keterkejutan dan pertanyaan yang masih menggantung, dan aku dengan pikiranku tentang papa.

Seingatku, dulu, ketika aku memutuskan untuk hidup sendiri, papa hanya melarang satu kali, kemudian menunduk dalam, tetapi tidak mencegah lagi setelahnya. Raut wajahnya seperti penuh penyesalan. Namun hanya itu, itu saja yang tercetak dalam ingatanku. Karena setelahnya, papa hanya mengirim uang tanpa menunjukkan batang hidungnya sama sekali. Papa hanya memenuhi kewajiban finansialnya padaku, tanpa peduli aku butuh kasih sayangnya atau tidak.

Tapi mendengar pengakuan Keas ... Mungkinkah, papa juga memikirkan aku selama ini? Katanya, ayah merupakan cinta pertama anak gadisnya. Iya, papa pun cinta pertamaku. Masih kuingat betul betapa bahagianya aku ketika papa menggendongku jalan-jalan mengitari kebun binatang. Hanya berdua, tanpa wanita itu. Kendati demikian, aku bahagia. Cukup memiliki papa, aku tidak butuh yang lain lagi. Hingga kemudian pertengkaran hebat itu terjadi dan mengacaukan hariku yang semula 'tenang'.

Mobil Pi berhenti di parkiran. Bersamaan dengan keluarnya kami, Ruby baru tiba diantar sopir, di depan gerbang, dan netra kami bertiga pun bersirobok. Kupalingkan wajah lebih dulu. "Gue duluan," pamitku pada Pi.

Tidak kuhiraukan Pi yang nampak kebingungan mengambil sikap. Itu resikonya. Selama cowok itu tidak tegas atas pilihannya sendiri, selama itu pula dia akan dilanda bimbang.

Sayangnya, interaksiku dengan Ruby seolah telah diskenariokan hari ini. Tepat ketika jam istirahat, saat kudapati gadis itu keluar dari ruang uks dengan wajah pucat dan melangkah lunglai, kami bertemu, berhadapan.

Ruby tersenyum lebih dulu. "Kakak mau ke kantin ya?"

Aku tidak tahu bagaimana tepatnya raut wajahku di mata orang lain, tetapi melihat Ruby yang nampak memaksakan diri tersenyum sepertinya tidak ada ekspresi berarti dariku. Mou bilang, aku itu salah satu makhluk minim ekspresi di muka bumi. "Kenapa sendirian? Mana cowok lo?"

Ruby mengigit bibir. "Lagi ke kantin, beli makan buat aku."

Aku mengangguk tanpa minat. Aku bukannya tidak tahu bahwa 'adik kecil'ku itu sedang tidak sehat, hanya saja, kupikir, dia tidak akan mati hanya dengan pengabaian dariku. Wanita itu dan Pi siap siaga untuknya. Maka dengan pertimbangan itu, aku memilih berlalu. Ruby yang nampaknya sedang memaksakan diri berjalan – mungkin ke toilet – mundur satu langkah begitu aku melewatinya.

Sayangnya, skenario itu terlalu 'indah' untukku. Bermula ketika kudapati seorang siswi -entah siapa – membulatkan mata melihat ke belakangku, kemudian berteriak hingga memancingku berbalik. Ruby tergeletak lemah di samping uks. Gesit kuhampiri dan kuraih tubuhnya.

"Lo gapapa?" Wajahnya kian pucat, keringat dingin bermunculan di dahi dan lehernya. "Lo sakit apa sih?" Ruby menggeleng, napasnya pendek-pendek, kemudian tidak sadarkan diri, tepat di pangkuanku.

༛༛ ༛ ༛༺༻༛ ༛ ༛༛

Uks itu lengang. Hanya terisi Ruby yang masih tidak sadarkan diri di brankar. Pi duduk di sebelahnya, sedangkan aku duduk di kursi dekat meja obat-obatan. Kuamati baik-baik sosok yang terbaring lemah itu sambil bersedekap dan menyandar pada kursi.

Kemarin dia di rumah sakit, kan? Kalau masih sakit, kenapa bersikeras sekolah? Bikin repot. Kulirik Pi yang belum buka suara sejak tadi. Netranya mengarah pada gadis itu. Kalau di drama-drama, biasanya jemari mereka akan saling menggenggam, mengirim kekuatan agar yang tidak sadarkan diri merasa terpanggil dan bangun, tapi kenapa Pi tidak? Dua tangannya menjuntai pasrah ke bawah, tersembunyi di antara kakinya yang tertekuk, duduk.

[✓] IF (Friendshit, Broken Home, Love triangle)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang