#17 || Iya, kuat

947 139 21
                                    

"Ini buat Nana?"

Yumna tersenyum, mengangguk. "Iya"

"Yeay!!" Thana kecil melonjak girang, mengangkat kostum kucingnya tinggi-tinggi.

"Nah, Nana kan udah punya kostum kucing. Boleh gak, kalau mama minta kostum putri saljunya?"

Thana mengerjap, lonjakan girangnya surut. "Putri salju yang dikasih papa?"

Yumna tersenyum lagi. "Iya, sayang."

Thana mengerjap polos. "Mama suka kostum putri salju Nana juga?"

Yumna tersenyum lagi. "Adik kamu yang suka, sayang. Ruby nangis terus dari tadi, mau punya kayak Nana ... Nana mau, kan, ngalah sama Ruby?"

Katanya, wanita itu sudah mencari ke mana-mana, tapi tidak ada yang persis menyerupai, karena papa membawanya langsung dari negara asal putri salju berada. Katanya lagi, Ruby hanya menginginkan punyaku, gak mau yang lain.

Karena itu ... aku dibelikan kostum kucing. Haha. Lucu sih, tapi-

Napasku terembus kasar, diikuti tawa miris kemudian. Kalau diingat-ingat lagi, setiap kebaikan wanita itu selalu saja mencurigakan. Eh, memang itu masih disebut kebaikan ya?

"Thana ..."

Panggilan lirih itu terasa dekat. Kepalaku mendongak. Oh! Wanita itu turun dari brankar.

Mau menggapaiku, huh?

Senyim sinisku tersungging. "Apa yang anda inginkan kali ini? Apa adik kecilku itu sedang menginginkan sesuatu dari aku?"

"Kamu salah paham, Nak ..." Kaki lemah itu melangkah pelan.

Dia benar-benar ingin menggapaiku ya?

"Kalau boleh, apa Nana mau mendengarkan penjelasan mama?"

"Enggak." Kenapa juga aku harus mau?

Bulir airmatanya kembali berjatuhan. Langkahnya agak terhuyung, dan ketika nyaris dia menggapaiku, tubuh ini kumundurkan.

"Bukannya anda sendiri yang bilang ; bahkan untuk menyebut namaku saja, anda tidak berhak?" Kupusatkan baik-baik kilat nyalang ini padanya. "Terus apa-apaan sekarang ini? Anda ingin menyentuhku??"

Langkahnya terhenti, lantas menutup mulut dan tergugu.

Kuyakinkan hati agar tidak luluh oleh getir tangis itu. "Aku tahu Ruby sakit."

Dia mendongak.

"Tapi jangan pernah berharap aku akan bersimpati dan mengalah padanya. Aku gak akan tertipu lagi." Aku terus mundur hingga mencapai pintu. "Enggak seperti aku, Ruby disayangi semua orang-"

"Enggak, Nak ... Kamu salah paham ..."

"Harusnya fakta itu membuat dia bersemangat untuk sembuh." Tapi kalau pun dia tidak ditakdirkan sembuh, kurasa hidupnya tetap lebih beruntung dariku ...

"Dan soal berita itu," salivaku terteguk kasar, tenggorokanku tercekat. "Apa anda tahu bahwa masyarakat sedang bersimpati padaku?" Iya, itu yang kubaca di portal berita, entah benar atau tidak. "Kata mereka, aku adalah anak yang terbuang. Lucu ya?" Tawaku menyusul kemudian. "Kenapa mereka bisa setepat itu menerka?" Sial sekali terdengar miris. "Gimana ini? Imej suci anda jadi ternodai. Anda pasti frustasi bukan main sampai rela menemui aku. Kenapa? Mau minta tolong biar aku membersihkan nama anda ya? Walau gimana pun, kan, aku kunci dari semua kontroversi ini. Sekali aku bicara, opini publik akan tergiring mengikutinya. Benar, kan?"

Wanita itu menunduk. Sudah tidak terhitung berapa bulir airmata yang menetes. Hingga kemudian kaki lemah itu ambruk, terduduk menyedihkan di atas dinginnya lantai.

Nyaris saja kakiku bergerak meraihnya. Nyaris. Untungnya tidak. Kutegaskan netra yang sedikit berair ini mengarah padanya yang hilang kata dan tergugu. "Aku bukan lagi Thana yang dulu merengek ingin diperhatikan, Ma ... Aku udah terbiasa hidup dan menanggung segalanya sendirian." Aku kuat, tepat seperti yang mama harapkan.

"Aduuuh, kamu itu, masa lecet segitu aja nangis! Jangan cengeng, Thana. Perempuan itu harus kuat."

"Ck. Ini cuma mati lampu. Jangan ngerengek gitu. Masa gitu aja takut. Jadi perempuan itu harus berani, mandiri."

Senyumku merekah tipis. Iya, saat itu mama memang mengomeli sekaligus memberi petuahnya padaku. Tapi alih-alih lantaran sayang, aku tahu persis perkataan itu muncul karena dia sebal mendengar rengekanku.

Aku semakin paham sekarang.

Kubalikkan tubuh tanpa mempedulikan lagi tangisannya. 'Obrolan' hari ini sudah cukup. Satu tanganku menggenggam erat tali sling bag yang kukenakan, satu lagi meraih gagang pintu. Aku harus segera pergi, sebelum perih ini menghantamku lebih hebat.

Sayang sekali, seperti yang sudah-sudah, alam jagad raya semesta ini memang tidak akan puas jika hanya memberiku satu 'pukulan'. Selagi aku belum 'babak belur', pukulan itu akan terus datang bertubi-tubi.

Tepat saat aku membuka pintu, tuan putri yang kemarin-kemarin nyaris tertabrak itu berdiri di hadapanku. Kali ini didampingi sang pangeran. Netra tuan putri itu bergulir ke arah ibunda ratu yang masih saja terduduk menyedihkan. "Mama!?" Sementara netra sang pangeran mengarah intens padaku.

Sesaat, getir cemas sang putri bersirobok denganku, sebelum akhirnya terlepas demi meraih wanita di belakangku.

Dan tersisalah sang pangeran yang masih berdiri kaku.

Ah ... sudah berapa hari aku tidak melihatnya? Hm, terakhir, saat di rumah sakit, saat dia ngotot ingin mengantarku pulang lantaran cemas. Ke mana raut cemas itu sekarang? Tidak ada. Yang kutangkap hanya tatap datar ... dan dingin. Sebelah bibirku tersungging sinis.

Ternyata lo udah milih, ya, Pi?

Yeah, apalagi yang kuharapkan. Kuayunkan langkah melewatinya. Aku harus segera menjauh, berada di radar terjauh hingga tidak ada satu manusia pun yang dapat menemukanku.

Aku ingin lenyap saja, Tuhan ...
Bolehkah?

✧❁❁❁✧

Belum.
Ternyata aku belum dibolehkan lenyap.

Mou, entah bagaimana, juga ada si rumah sakit yang sama. Kondisinya sudah pulih, dan belum sempat aku bertanya, Mou menggiringku ke lorong yang sepi, lantas memelukku.

"Maaf, Na ..."

Alisku tertaut, meliriknya yang semakin erat memeluk.

"Lo pasti sedih dan kerepotan banget belakangan ini, dan gue malah sibuk sendiri."

Napasku terhela. Kurenggangkan pelukannya pelan-pelan. "Gak papa. Gue tahu kok, lo kan lagi proses hukum si bajingan itu?"

Mou mengangguk, mengusap airmatanya yang menetes.

Dia menangis untukku?

Senyumku terulas tipis. Ini senyum bahagiaku yang pertama setelah beberapa hari hanya suram.

"Btw, lo ngapain di sini? Kondisi lo gimana?"

"Udah oke kok gue, di sini lagi ..." Mou mengigit bibir, nampak bingung menjawab. Lalu, dia pun mendekatkan wajahnya padaku, berbisik. "Lagi jengukin nyokap. Beliau sakit."

"Harus banget bisik-bisik? Nyokap lo buronan?"

"Ish! Thana mah suka gitu." Dia hempas tanganku yang digenggamnya. Aku terkekeh pelan.

Inginnya, aku lekas pergi. Inginnya, aku lekas melenyapkan diri. Sungguh gemuruh gila di dadaku ini hebat sekali. Perihnya tidak terkendali. Tetapi Mou terlalu baik untuk aku tinggal begitu saja. Satu-satunya sahabat perempuanku itu menatapku penuh binar harap. Seolah telah menjumpai sang pahlawan yang begitu dia tunggu. Dan aku pun lagi-lagi sadar, Mou juga sedang berkutat dengan masalahnya sendiri.

Mungkin satu atau dua jam ke depan aku akan bertahan di satu lorong sepi ini seraya berjongkok dan menyandarkan punggung pada dinding. Untuk beberapa alasan, kecerewetan Mou sedikit mengalihkan perihku.

Iya, gak papa.
Kayak gini sebentar ... gak papa.
Bisa jadi ini kali terakhir gue bisa denger ocehan lo, Mou.



- TBC -

[✓] IF (Friendshit, Broken Home, Love triangle)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang