Denting yang berbunyi dari dinding kamarku
Sadarkan diriku dari lamunan panjang
Tak terasa malam kini semakin larut
'Ku masih terjaga~Sayang, kau di mana aku ingin bersama?
Aku butuh semua untuk tepiskan rindu
Mungkinkah kau di sana merasa yang sama?
Seperti dinginku di malam ini~Rintik gerimis mengundang kekasih di malam ini
Kita menari dalam rindu yang indah
Sepi kurasa hatiku saat ini, oh sayangku
Jika kau di sini, aku tenang~🎼🎼🎼
Jari jemariku lincah memetik senar sementara jemari yang lain bergeser cepat dari satu not ke not yang lain. Seisi kafe sunyi. Hanya terdengar suaraku dan gitar. Mengalun, mengisi setiap penjuru.
Ada rasa tenang setiap kali aku bernyanyi dan mendengar musik - meski tanpa lirik. Dan agaknya ketenangan itu menyebar ke seluruh pengunjung kafe. Pengunjung yang kebanyakan sebaya denganku itu menikmati lagu yang kubawakan. Nampak dari gestur mereka yang diam dan memfokuskan perhatian hanya padaku, mendengarkan sambil terpejam, menghayati, beberapa bahkan turut bernyanyi tanpa suara.
Aku tersenyum. Respon mereka sangat tulus. Sesuatu yang sangat aku sukai.
Yumna adalah aktris film dan penyanyi besar. Bakat musiknya turun padaku. Satu-satunya hal yang tidak aku sesali ketika teringat hubungan darah di antara kami.
Kututup lagu dengan petikan akustik tanpa bernyanyi. Tepuk tangan berurai. Ucapan terima kasih kusampaikan sebelum turun dari stage mini yang selalu menemani jum'at dan sabtu malamku dua bulan terakhir.
Ved, salah satu teman sejawat Pi adalah adik dari pemilik kafe tempatku bekerja. Ved juga yang merekomendasikan aku pada kakaknya, Ned.
"Mengesankan. As always." Ved mengedipkan sebelah mata, memberiku gelas berisi latte macchiato.
Aku duduk di sebelah Ved, menyeruput minuman yang dia beri. Ved adalah kawan Pi yang paling dekat denganku. Kepribadiannya riang, tapi sedikit brengsek perkara perempuan. Maklum, cakep, tajir, dan terlalu sadar pesona.
"Ke sini sama siapa?" tanya Ved.
"Sendirilah."
"Gue pikir dianterin Enggar."
Aku berdecak. "Lagi pacaran dia. Mana sempat."
"Nah!" Ved menjentikkan jari. "Lo kapan mau pacaran?"
Kuteguk lagi minumanku. "Nanti. Kalau buaya udah musnah dari muka bumi."
"Na," Ved menyerong, menghadapku. "Kaum hawa itu harusnya bersyukur dengan adanya buaya," selorohnya. "Bayangkan kalau semua cowok lurus dan alim. Mana bisa cewek-cewek bedain mana yang tulus mana yang enggak."
"Jadi maksud lo, gue harus bersyukur atas kehadiran lo, gitu?" Dua alisku meninggi.
"Tul!" Ved nyengir lebar, meneguk root beernya dengan kerlingan jahil mengarah padaku.
Kepalaku menggeleng tak habis pikir, lalu terkekeh. Terlepas dari tingkah Ved yang macam para fuck boy, harus kuakui cowok itu memiliki hati yang baik. Ved kerap menemani dan menghiburku saat Pi berhalangan menemaniku di sini. Seperti saat ini.
🍂🍂🍂
Aku pulang dari kafe pukul sepuluh malam. Ved - yang katanya cemas melihatku menaiki skuter butut - bersikeras mengantarku, tapi aku menolak. Aku menggunakan skuter alias motor matic legend yang menemaniku sejak SMP itu bukan karena tidak punya pilihan, melainkan karena aku memang suka. Sensasi ketika angin menerpa wajah dan tubuhku saat berkendara - terlebih saat malam - sangatlah menyenangkan. Rasanya bebas dan lepas.
Tak sampai setengah jam, aku tiba di apartemen. Sebelumnya memarkirkan skuter di basement terlebih dahulu, barulah naik ke lantai enam tempat unit miniku berada.
Apartemen ini hanya seluas 24 meter persegi. Berisi tempat tidur single, televisi 64 inci, set sofa mini berwarna pastel, juga benda-benda multi fungsi guna meminimalisir penggunaan space ruangan. Seperti meja makan portabel, tempat tidur yang didesain dengan banyak laci di bagian bawahnya, sekat yang juga berguna sebagai hanger, dan lain-lain. Dinding dan seluruh furnitur didominasi warna monokrom dan silver agar lebih cozy. Kamar mandi terletak berhadapan dengan kitchen island mini, sekaligus menjadi spot pertama yang menyambut kala pintu terbuka.
Kugantungkan sling bag pada hanger, lalu menghempaskan tubuh lelahku pada tempat tidur. Lampu sengaja tidak kunyalakan. Gelap lebih cepat untuk membuat netra terlelap.
Ponsel bergetar dan menampakkan nama pada notif bar. Om Joni, Sekretaris papa. Kuletakkan lagi ponselku tanpa minat. Paling hanya laporan transfer tiap bulan.
Papa memang selalu mengirim sejumlah uang untuk biaya hidupku setiap bulan. Mou pernah memekik saat tidak sengaja melihat nominal saldoku. Terang saja, uang yang dikirimkan papa tidak pernah sedikit. Jika mau, aku bisa membeli satu unit apartemen mewah plus mobil sport secara cash. Aku bisa menghamburkan uang dengan shopping di tiap store berlabel kelas dunia, hangout dengan menjelajahi tiap negara, dan segala hal yang dilakukan oleh putri-putri dari keluarga kaya. Mengapa? Sebab jauh sebelum Papaku menjadi menteri, papa adalah pengusaha di bidang perkapalan. Kapal dan kontainer-kontainer besar di pelabuhan adalah produksi perusahaan yang dipimpin papa. Intinya, papaku kaya raya.
Hanya kaya raya.
Bukan kaya akan kasih sayang.
Kadang aku penasaran, apa yang papa rasakan saat mengingatku?
Terlalu suram. Kugelengkan kepala. Jangan mengingat-ingat sesuatu yang menyedihkan. Tidak baik untuk kesehatan jiwa. Kupeluk erat bantal guling lusuh kesayanganku, lalu memejamkan mata. Rasa sesak ini harus segera dienyahkan.
Lalu, ketika nyaris saja alam mimpi menyambutku, pintu berderit. Netraku terbuka pelan, mengarah pada pintu yang terbuka sedikit. Hanya satu orang yang memiliki kunci apartemen ini selain aku.
Pi.
🍂🍂🍂🍂
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] IF (Friendshit, Broken Home, Love triangle)
Teen FictionThana hanya ingin dianggap ada. Thana hanya ingin kelahirannya diinginkan. Namun agaknya itu berlebihan ya? Pengandaian hanya milik manusia tanpa harapan. Manusia tanpa harapan itu menyedihkan. Dan Thana tidak mau jadi menyedihkan. Karena itu ... Th...