Rumah itu telah banyak direnovasi dari terakhir kali Thana tinggali. Yeah, tentu saja. Semakin hari, perubahan gaya hidup semakin tinggi dan modern. Di samping rumah itu adalah rumah Enggar. Rumah tantenya, lebih tepatnya. Tapi Thana tidak sedang ingin menemui Enggar. Thana hanya ingin ... mengunjungi sang mama yang belakangan ini menyambangi mimpinya dengan ekspresi berbeda.
Biasanya, di mimpi Thana, Mama selalu terlihat bahagia, tertawa riang bersama suami dan putrinya, Ruby. Namun beberapa malam terakhir, tepat setelah Thana 'menghilang', yang hadir di mimpinya hanya sosok wanita rapuh yang tak henti menangis, tergugu pilu, dan hanya bisa Thana lihat dari kejauhan, tanpa bisa disentuh.
Pada akhirnya, pagi hari Thana pun selalu diiringi renungan. Termenung, memikirkan apa yang sekiranya terjadi, apa yang membuat wanita itu menangis hebat sampai-sampai terlihat tidak berdaya. Bermacam prasangka Thana tak urung berkecamuk. Rasanya agak tidak mungkin jika sang mama menangisinya di mimpi itu. Sayangnya, setiap kali Thana berpikir demikian, setiap kali Thana melawan firasatnya tersebut, ingatan tangis sang mama di rumah sakit tempo hari seolah menyentaknya.
Mungkinkah tangis Mama saat itu tulus? Mungkinkah Mama memang menyesal? Mungkin ... kah?
Maka dengan pertaruhan seadanya, Thana diam-diam sambangi rumah Mama. Malam telah sangat larut. Thana tidak tahu jam berapa. Yang dia tahu, dingin menyergapnya kuat sekali. Jaket yang dia kenakan bahkan tidak terlalu membantu.
Thana langkahkan kakinya mendekati gerbang seraya merapatkan jaket. Lampu sebuah kamar di lantai atas masih menyala. Pelan, Thana ayunkan langkah tanpa suara. Dan agaknya semesta sedang mendukungnya. Gerbang tidak dikunci. Entah lupa, atau memang sengaja. Thana dorong gerbang itu pelan-pelan agar tidak menimbulkan bunyi. Lampu di plafon menyala remang. Dan sepasang kaki Thana berhasil berdiri di teras. Di dekat pot-pot kecil yang menggantung.
Thana hirup oksigen dalam-dalam. Jika ditanya waktu apa yang paling Thana sukai, maka jawabannya adalah malam hari. Dini hari, tepatnya. Rasanya dingin dan menenangkan, sunyi, tanpa huru-hara, baik huru-hara batin maupun sekitar.
Segaris senyum Thana terbit. Sunyi selalu memancing banyak kenangan, juga kesedihan. Thana usap wajahnya. Udah cukup mellownya.
Selembar kertas dari saku jaket dan satu pot kecil kaktus yang sejak tadi dia bawa, diletakkan di teras itu. Thana pandangi lama dua benda itu, lalu tersenyum. Entah apa yang menuntunnya untuk membawa dua pot kaktus yang dia rawat di rumah Tante Ana. Mungkin karena Thana ingin memberikan sesuatu untuk kedua orang tuanya, tetapi tidak tahu apa. Mungkin juga karena Thana ingin mempersembahkan sesuatu yang cukup berharga untuk mereka.
Yeah, kaktus-kaktus ini yang menemani gue belakangan ini. Jadi, berharga, kan?
Satu kaktus dan selembar surat telah lebih dulu Thana selipkan di teras rumah papa. Dan hal yang sama kini sedang Thana lakukan di rumah mama.
"Semoga setelah ini kalian jauh lebih tenang dan menjalani hidup sebaik mungkin." Tanpa penyesalan, maupun rasa bersalah. "Aku juga akan memulai hidup yang baru, Ma, Pa."
Suatu saat,
Ketika melihat Mama tidak lagi sakit.
Ketika mengingat Papa tidak lagi pahit.
Aku akan menengok kaktus ini lagi.- Thana.
End
Ketahuilah, nyembuhin luka itu butuh waktu. Merajut hubungan yang semula rusak banget bahkan butuh lebih banyak waktu. Jadi kubuat ending selogis mungkin untuk Thana dan kedua orang tuanya (Logis versiku, tentu aja)
Dah intinya begitu.
Terima kasih sudah menemani Thana sampai akhir ya!
Apa pendapat kalian tentang cerita ini?
Aku kepo 🤔😊
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] IF (Friendshit, Broken Home, Love triangle)
Novela JuvenilThana hanya ingin dianggap ada. Thana hanya ingin kelahirannya diinginkan. Namun agaknya itu berlebihan ya? Pengandaian hanya milik manusia tanpa harapan. Manusia tanpa harapan itu menyedihkan. Dan Thana tidak mau jadi menyedihkan. Karena itu ... Th...