#11 || Pertemuan

883 121 58
                                    

Pada akhirnya, Ved mengantarku sampai depan gedung apartemen. Cowok berambut agak gondrong itu tersenyum lebar. "Biasanya kalo abis nganterin itu ditawarin mampir."

Bola mataku berputar malas. "Yaudah masukin basemen."

Ved mengangkat jempol, lantas melajukan motor ke tempat parkir. Kepalanya celingukan begitu tiba di lantai enam, tepat di depan pintu apartemenku.

Kupikir ... Ved akan bertanya seperti kebanyakan orang yang tahu jika seorang remaja hidup sendiri, tapi ternyata tidak. Ved bungkam dan memilih membahas hal lain.

Peka juga, batinku. Tapi yeah, namanya juga cassanova, ilmunya perkara perempuan jauh lebih berat di banding ilmu fisika, kimia, dan biologi. Haha.

"Tau gini tadi beli camilan dulu, Na," celetuk Ved. "Gue kan berencana mengacaukan hari tenang lo."

Aku mendengus. Dasar. "Delivery ajalah. Tapi kayaknya camilan gue masih banyak deh. Lo beli minuman aja yang banyak."

Ved menjentikkan jari. "Oke!"

Sial sekali, aku lupa ada satu orang lagi yang memiliki akses bebas masuk apartemenku. Baru saja aku hendak membuka pintu, pintu itu terbuka lebih dulu. Pi muncul dengan rambut berantakan seperti habis diacak-acak. Netranya memandang Ved dingin sebelum bergulir ke arahku.

"Dari mana aja?"

"Bentar," Ved menginterupsi sebelum aku bereaksi, tangannya terangkat dengan bola mata yang bergulir menatap aku dan Pi bergantian. "Kalian tinggal bareng?"

Napasku terhela. Ini yang kutakutkan. Jika sampai ada yang tahu di mana aku tinggal, lalu mendapati justru Pi yang membuka pintu, maka tamatlah riwayatku sebagai gadis tidak kasat mata yang diabaikan sekitar. Siapa pun yang mengetahui fakta itu akan serta merta lebih memfokuskan atensinya padaku. Dan pada akhirnya, aku akan mulai terlihat.

"Kalian beneran tinggal bareng?" ulang Ved. "BENERAN TINGGAL BARENG!??"

"Enggak!" sergahku sebal. Mungkin setelah ini aku akan meminta Pi mengembalikan kunci cadangan dan mengganti password masuk.

Netra Pi menghunus tajam ke arahku, nampak tidak terima dengan jawabanku.

"Syukurlah ..." seloroh Ved sambil mengelus dada.

Pi menoleh, mengangkat sebelah alis pada kawannya itu. "Kenapa emang?"

"Ya kali lo nanti khilaf, Gar. Berabe urusannya." Ved mengerling menggoda Pi yang mendengus.

Akhirnya, kami bertiga masuk dan duduk di atas karpet bulu di depan televisi. Meja pun lambat laun berserakan oleh bungkus makanan. Ved dan Pi yang kukira akan adu mulut sengit-mengingat sampai detik ini Pi menatapku dengan bara amarah, ternyata malah asik berdua bermain ps.

Ya Tuhan ... kenapa aku dulu kepikiran untuk membeli ps saat diriku sendiri tidak suka main game? Ini gara-gara Pi! Enggara si menyebalkan itu! Besok-besok kubuang juga ps itu.

"Gue sewa apart juga apa ya?" Ved merebahkan kepalanya pada dudukan sofa. "Kalau bisa yang sebelahan sama lo, Na." Dia menoleh padaku yang asik memakan kuaci. "Gimana? Ada yang kosong gak? Siapa tahu tetangga lo mau pindah, gitu??"

[✓] IF (Friendshit, Broken Home, Love triangle)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang