#10 || Selamat Bulan Merdeka

839 128 42
                                    

Dah lama sekali tak update keknya :)
Semoga kalian tak lupa alur dan tetap di jalan yang semestinya 😌

🍂🍂🍂

Aku tiba di sekolah tepat ketika bel masuk berbunyi. Murid telah sepenuhnya duduk di kelas. Semua mata tertuju padaku begitu tungkai kaki ini menginjak ambang pintu. Tepatnya pada wajahku. Tentu saja! Enam tamparan itu mendarat di pipiku dengan kebencian penuh. Bekas merahnya pasti sangat kentara.

Ternyata bener ya, anak broken home yang gak dapet didikan orang tua kayak lo emang menakutkan. Ditampar sekuat itu pun gak bereaksi apa-apa. Kenapa? Udah mati rasa ya?

Mati rasa?
Tentu saja tidak.
Namun meskipun begitu, sakitnya memang tidak seberapa. Tidak sampai membuat perih di dadaku berkurang.

Mejaku - di barisan ketiga dekat jendela - diisi Mou. Susunan tempat dan teman duduk berubah. Udah rolling ya ternyata? Baguslah. Dengan begitu Pi duduk berjauhan denganku. Cowok itu duduk di sisi bersebrangan denganku, meja paling depan. Ekor mataku menangkap kilat tajamnya terfokus padaku, mengikuti langkahku yang melenggang santai tanpa tengok kanan-kiri hingga duduk di samping Mou.

"Lo kemana aja sih, Na?!" sentak Mou gemas. "Bentar," Netranya menyipit. Lalu mengabaikan aku yang tak acuh membuka buku pelajaran, ditangkupnya pipiku kanan-kiri. "Pipi lo kenapa merah-merah gini?? Lo abis ngapain?!"

Ck.

"Ini bibir lo-astaga Thana! Lo-"

"Keluarkan buku paket kalian." Guru masuk. Memotong jeritan Mou. Diam-diam aku bernapas lega. Setidaknya untuk dua jam ke depan aku tidak akan ditanya-tanya.

Namun dua jam itu berlalu cepat. Berganti bel istirahat.

"Pertanyaan gue belum dijawab satu pun." Mou kembali buka suara begitu Pak Jaya meninggalkan kelas. "Gue kepo dan khawatir tau, Na!"

Napasku terhela. Lumayan terharu. Mou itu orangnya spontan dan tulus. Kuulas senyum tipis. "Gue-"

"Mou, lo keluar sebentar." Suara itu menginterupsi. Tegas dan menuntut. Pi berdiri di samping meja kami. Menghunuskan kilat tajam ke arahku.

"Gak ah! Lo aja yang keluar duluan. Gue mau ngobrol dulu sama Thana!"

"Gue juga harus ngobrol sama Thana."

Mou mendelik sebal. Usai adu mulut sekian detik, disertai tatap tajam Pi yang seolah menolak dibantah, Mou mengalah. "Posesif banget sih lo, Enggar!" umpatnya, lalu menoleh padaku. "Gue duluan, Na." Kubalas dengan senyum.

Kini, kelas sepenuhnya hanya terisi kami berdua. Pi duduk dengan menghadap penuh padaku. Lekat netranya menatapku, hingga bola mata legam itu bergulir ke pipi dan sudut bibir. "Sori ... Gue gak tau lo akan ke rumah malam itu." Disentuhnya pipi dan sudut bibirku. Berlama-lama dengan pikiran penuh yang agaknya menyimpan banyak sekali pertanyaan.

"Kenapa hapenya gak aktif?"

"Mati."

"Ke mana aja dua hari ini?"

"Nengokin nenek."

Pi menghela napas mendapatiku menjawab pendek-pendek. "Hadiah lo udah gue buka," ucapnya. "Thanks." Lalu ditutup dengan senyum tulus. Senyum yang nyaris menenggelamkanku dalam kasih sayang semu.

Kami terdiam beberapa lama. Memaku tatap satu sama lain yang menyiratkan emosi berbeda. "Apa aja yang udah gue lewatkan?" tanya Pi, lembut seperti biasa.

Aku tahu dia memintaku bercerita seperti yang kerap kulakukan, lalu dengan sabar mendengarkan sampai aku selesai, dan setelahnya barulah bereaksi. Namun kali ini tidak. Aku tidak mau. Toh tidak akan berguna juga.

Sebelum lo membuat jarak dan menyakiti gue, gue yang akan membuat jarak lebih dulu.

"Cuma kena hadang Chika cs, berantem deh." Kuletakkan buku ke laci meja, secara tidak langsung melepas sentuhan Pi dari wajahku, lantas menoleh. "Lo gak laper?"

Pi bungkam beberapa saat sebelum menggeleng dan memaksakan senyum. Aku mengangguk mengerti, menoleh ke ambang pintu. "Tumben cewek lo gak ke sini? Biasanya bawain makan siang."

"It-"

Aku bangkit sebelum Pi sempat buka suara lebih banyak. "Gue ke kantin dulu ya? Laper." Lantas berlalu begitu saja.

Aku tahu Pi bergeming dan tak putus menatap punggungku. Sebelum akhirnya tangan ini diraihnya di belokan pertama koridor. Pi mengejarku. "Makan siang bareng," tegasnya, kemudian menyejajari langkahku menuju kantin. Namun tidak bertahan lama. Sebelum mencapai tempat itu, Ruby muncul di depan kami, dengan dua kotak makan siang yang siap dia serahkan.

"Wah, udah dateng tuh makan siangnya," celetukku, menyeringai, lantas menepuk bahu Pi sepintas. "Gue duluan kalau gitu." Pamit dengan mengangkat tangan, lalu melenggang ke kantin seorang diri.

Samar kudengar ajakan Ruby pada Pi. "Mau makan di mana, Kak?"

🍂🍂🍂

"Motor? Tumben?" Kutengok motor ninja hitam tak jauh dari tempatku berdiri.

Ved memutar-mutar kuncinya sambil mengiringi langkahku. "Mobilnya masuk bengkel."

Aku tidak percaya. "Bilang aj-" Tanganku tertarik ke belakang.

"Mau ke mana?" Pi bertanya, menghentikan langkah kami.

"Baliklah." Maunya open BO, tapi duit gue udah banyak. Aku tertawa hambar menyadari pikiran konyol yang terlintas.

"Lo gak bilang kalau gak bawa skuter," ucapnya, melirik Ved yang menaikkan sebelah alis, lalu beralih padaku. "Bareng gue aja."

"Duh, gak bisa nih gue. Mau ada perlu juga sama Kak Ned. Biar sekalian."

"Yap. Sekalian." Ved mengedip pada Pi, lalu mengajakku bergegas menuju motor.

Menit berikutnya, aku sudah nangkring di belakang Ved, meninggalkan Pi yang bergeming sebelum Ruby menghampiri dan menepuk bahunya.

🍂🍂🍂

"Kamu serius sanggup? Jam sekolahmu gak akan terganggu?" Kak Ned memberondongku dengan tanya seraya meletakkan latte machiato di atas meja.

"Sangguplah, Kak. Cuma nyanyi berapa menit doang," sahutku. Sore ini adalah agenda bertemu Kak Ned untuk membahas permintaanku perihal bernyanyi di kafe yang awalnya hanya jum'at dan sabtu malam, menjadi rabu sampai minggu malam.

Kak Ned manggut-manggut. Pria yang setauku sedang lanjut S2 itu berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Ved, adiknya. Jika Ved cenderung berantakan dan suka menghamburkan uang, maka Kak Ned rapi dan pandai mengelola keuangan. Buktinya kafe ini.

"Oke kalau gitu. Tapi mulainya minggu depan aja ya?"

Aku mengangguk sambil menyeruput minumanku.

"Udah selesai kan?" Ved yang sejak tadi fokus dengan hape ikut nimbrung.

"Kenapa?" tanya Kak Ned.

"Ya kenapa lagi? Mau ajakin Thana nontonlah!" Ved menyeringai.

Satu alis Kak Ned naik, melihat kami bergantian. Lalu, senyumnya pun terkulum.

"Gimana?" Ved mencondongkan tubuhnya padaku, menyeringai pada kakaknya. "Udah cocok belum?"

Aku hanya memutar mata. Kurang kerjaan sekali dia. "Gue balik dulu deh, Kak," pamitku. Sebelumnya mengucapkan terima kasih lebih dulu atas ijinnya yang membiarkanku bernyanyi lebih sering.

"Gue balik sendiri aja, Ved," tegasku saat Kak Ned telah berlalu dari kursi kami.

"Kenapa? Lo kan berangkat bareng gue, pulang juga harus bareng guelah."

Masalahnya, aku tidak pernah membiarkan siapa pun mengantarku sampai apartemen. Ribet kalau banyak yang tahu aku hidup sendiri, dan lebih ribet lagi kalau Ved yang tahu. Dia akan berkunjung seenak jidat, membuat gaduh, lalu mengacaukan hari tenangku.

🍂🍂🍂

[✓] IF (Friendshit, Broken Home, Love triangle)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang