#8 || Ulang Tahun Pi

854 137 40
                                    

"Pi, lo kan bentar lagi ulang tahun. Mau hadiah apa?"

"Pertanyaan lo kayak Mama."

"Ish kan emang gitu!"

"Gue bukan bocah, Na. Gak perlu hadiah-hadiahan segala."

Meski Pi selalu berkata seperti itu tiap tahun, aku tidak pernah absen memberinya hadiah. Tidak selalu barang. Terakhir, aku memasak untuknya. Udang crispy dan ayam teriyaki - makanan favoritnya. Meski beraroma gosong dan kelebihan micin, Pi tetap memakannya. Agak memalukan. Untung Pi bukan tukang bikin malu.

Untuk hadiah yang akan kuberikan tahun ini, aku sudah berpikir dari beberapa hari lalu. Bahkan begadang dua malam untuk mengerjakannya. Sebuah scrapbook. Berisi foto-foto kenangan kami dari tahun ke tahun yang sudah kuhias dan kukreasikan sedemikian rupa. Aku tersenyum sendiri. Masih tidak percaya seorang Thana bisa menyelesaikan scrapbook ini dengan 'lumayan' estetik di tengah kreatifitas yang mengkhawatirkan.

Kumasukkan scrapbook bersampul garis-garis biru langit dengan nama Pi dan Nana di bagian bawahnya ke dalam paper bag. Hari ini aku akan mengunjungi rumah Pi. Sesuatu yang nyaris tidak pernah aku lakukan. Kenapa? Jelas karena tetangga cowok itu. Pernah sekali aku ke sana, sekali yang membuatku tahu bahwa keluarga 'mereka' pindah ke daerah itu dan bertetangga dengan teman baikku. Sekali itu juga menjadi sekali yang benar-benar satu kali. Jika malam ini aku ke sana, maka terhitung dua kali.

Fyi, Pi tinggal bersama om dan tantenya. Kata cowok itu, dua orang tuanya tinggal di luar Ibu kota, tepatnya di perkampungan pantai, rumah mereka bahkan dekat pesisir, persis menghadap jernihnya pantai. Dan Pi yang memang bertekad menyelesaikan sekolah di Ibukota, tinggal bersama tantenya sementara.

Sebenarnya aku enggan ke sana, tapi demi Pi, aku akan melakukannya. Sambil melangkah menuju skuter yang terpakir di bawah sana, senyumku enggan pergi. Membayangkan bagaimana kagetnya Pi yang menyambut kedatanganku, untuk kemudian tersenyum senang. Pi kan selalu protes selama ini. Katanya aku 'jahat' karena tidak mau bertandang ke rumahnya. Bahkan kerja kelompok pun aku selalu memastikan dikerjakan di tempat lain.

Semoga saja wanita itu tidak menampakkan diri.

🍂🍂🍂

Jam menunjuk ke angka delapan lebih enam belas malam ketika aku tiba. Pembantu rumah mereka - yang namanya belum aku hafal - membukakan pintu.

"Siapa ya?" tanya mbok ramah dan agak medok.

"Saya Thana, temannya Enggar."

"Oh ... si nduk yang waktu itu ya?"

Aku tersenyum. Masih diingat rupanya.

"Sebentar saya panggilin. Ayo masuk dulu."

Aku tersenyum sopan, lantas duduk di kursi yang dipersilahkan si mbok.

Rumah Pi terhitung elit, tapi minimalis dan terdiri dari dua lantai. Pi pernah bilang, om dan tantenya tidak suka keribetan dan bangunan yang terlalu megah. Dinding lantai pertama nyaris seluruhnya berlapis kaca. Membuat transparan pemandangan di luar. Untungnya ada taman dan dinding penghalang melingkupi rumah. Jika tidak, bisa dipastikan bangunan rumah di samping akan terlihat jelas.

"Non, tuan muda sama tuan dan nyonya lagi di rumah sebelah." Si mbok datang. "Mbok baru inget. Gimana? Apa mau diantar ke sana atau mbok kasih tau tuan mudanya biar ke sini?"

Di rumah sebelah? Rupanya dua keluarga itu punya acara ya? Senyum masamku tercipta. Bodohnya aku mengira Pi akan berada di rumah pada hari pentingnya ini. Sesaat aku lupa dia punya seseorang yang disebut prioritas.

[✓] IF (Friendshit, Broken Home, Love triangle)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang