#9 || Bolos

807 128 32
                                    

"Wah wah ... gue kira salah liat ... ternyata beneran elo ya ... bitch?"

Lima cewek berdiri angkuh menghadang jalanku. Kuteliti wajah mereka satu persatu. Apa aku pernah berurusan dengan cewek-cewek sok jagoan ini?

"Ck pura-pura lupa lo?!" Satu cewek maju, mendorong bahuku. Kontan aku terhuyung mundur. Aku masih mengingat-ingat.

"Wah! Beneran lupa dia!" Cewek itu menyeringai pada teman-temannya. "Bisa-bisanya lupa setelah ngebully temen gue! Chik, maju!"

Lalu cewek yang dipanggil Chik itu maju, berdiri tepat di depanku. Seringainya muncul. "Lo bener-bener ya, Thana. Setelah bikin gue babak belur, lo bahkan gak ingat sama sekali! Apa perlu gue ingetin apa yang udah lo lakuin ke gue? Huh?"

Dan, aku ingat.

Senyum angkuh itu masih sama seperti terakhir kali bertemu, empat tahun lalu. Chika Basari - teman SMP, si pembully nomor wahid berjejer dengan temannya yang lain, yakni empat orang cewek di belakang. Awet juga persahabatan para pembully itu.

Smirkku muncul. "Masih hidup lo?" Tatapan-tatapan sengit itu menghunusku. Ibarat kucing garong yang siap berkelahi dengan kucing garong lainnya. Suara meongnya itu loh! Haha! Perumpaanku badas sekali bukan? Sayangnya mereka salah pilih teman berkelahi. Aku tidak sedang dalam mode kucing garong sekarang, tapi serigala. Lebih keren.

Aku bolos, btw.

Pagi buta sekali aku keluar apartemen, mengunjungi makam nenek di daerah bandung, dengan hanya mengenakan jeans abu, kaus hitam, jaket hijau army, dan tas punggung persis anak pelarian, menetap lama di pusara nenek hingga terik berganti gelap, pulang pergi yang nyaris memakan waktu delapan jam, lalu menemui Wendy sebentar di diskotik tempatku suka menggila - dulu. Wendy adalah makhluk malam yang tiada hari tanpa clubbing dan foya-foya. Niat hati ingin turut gabung dan menggila di dance floor, tapi apadaya mood swingku berubah cepat. Riuhnya diskotik tidak menyingkirkan sedikit pun rasa perih di hatiku. Sialan sekali kan?

Maka meninggalkan Wendy yang setengah mabuk, aku keluar diskotik dan berjalan kaki menyusuri ruko-ruko yang telah tutup. Maklum, jam tiga pagi. Hanya ada beberapa kios yang buka. And u know what? Cewek-cewek garong ini justru menjadi human yang kutemui dari sekian banyaknya manusia malam. Cewek yang empat tahun lalu menjatuhkan mentalku dengan terus mengolok-ngolok soal hancurnya keluarga yang kumiliki.

Dan itulah yang menjadi awal perkelahian kami di tahun terakhir SMP kala itu. Mereka iri dengan privilege yang kumiliki, mereka hancurkan mental dan fisikku untuk mengatasi rasa iri itu, dan aku? Aku balas perlakuan mereka tak kalah keji. Chika, yang saat ini berdiri di hadapanku, kena geger otak ringan setelah kuhantamkan kepalanya pada palang besi, wajahnya penuh memar akibat tamparanku, dan tangannya nyaris patah setelah kuinjak mati.

Teman mereka juga sempat menerima seranganku, tapi Chika yang paling parah, dan cewek sialan itu kini menatap nyalang padaku, seolah tak sabar membalas kekalahan tempo hari.

Lucu.

"Gara-gara lo gue nyaris kehilangan tangan, bitch!" Chika merangsek maju, lantas menjambak rambut belakangku hingga wajahku mendongak. Tak kuputus hunusan netraku pada kilat nyalangnya. Lalu, seringaiku muncul. "Jadi lo mau balas dendam ya? Kok pengecut sih? Sampe keroyokan gini. Gak mampu ya, hadapin gue sendiri?"

Jambakan Chika menguat. Helaian rambut gue banyak yang lepas kalau begini. Perih. Tapi menunjukkan raut kesakitan hanya akan membuat seringai mereka makin lebar.

"Emangnya kenapa kalau keroyokan?" Chika berbisik di telingaku. "Toh gak ada yang liat, kecuali lo, yang sebentar lagi akan babak belur menyedihkan."

"Pegang dia!" Empat kawan Chika mendekat. Dua orang memegang tangan kanan-kiriku. Satu orang berjaga di belakang. Satu lagi - yang pertama kali 'menyapa'ku beberapa saat lalu - berdiri di sisi Chika. "Diapain enaknya?" tanyanya.

PLAKK

Satu tamparan tanpa peringatan mendarat di pipiku. "Diapain?" Chika menyeringai. "Tentu dibuat babak belur kayak gue dulu."

PLAKK

Genap dua pipiku memerah perih. Aku tidak kuasa untuk sekadar bergerak. Lalu, darah keluar dari sisi mulut. Cih! Sialan. Kuat juga tenaganya. Teman Chika, yang baru kuingat bernama Sasa, menyeringai. "Jangan serakahlah, Chik ... mau nyoba juga ah-"

PLAKK

PLAKK

Sempurna. Empat tamparan.

PLAKK

PLAKK.

Dua tambahan dari Chika. Pipiku? Wajahku? Oh, tentu, sakit.

"Ternyata bener ya, anak broken home yang gak dapet didikan orang tua kayak lo emang menakutkan," cetus Chika. "Ditampar sekuat itu pun gak bereaksi apa-apa. Kenapa? Udah mati rasa ya? Atau ... udah sering disiksa lebih dari ini?"

Netraku terhunus datar pada Chika yang mendekat demi menunjukkan seringai puasnya padaku.

"Kalau gitu boleh dong, gue juga ngelakuin lebih?" Usai monolog dan seringai menyebalkan itu, Chika lantas menjambak kuat rambutku hingga seluruh rambut terasa seperti tercabut dari kepalaku. Ke empat temannya melepaskan cengkraman mereka, lantas membiarkan Chika menyeretku - dengan jambakan - menuju tiang listrik dekat dinding. "Lo pasti belum lupa dong gimana bengisnya elo saat menghantamkan kepala gue ke palang besi?" Chika menyeringai. "Ayo nostalgia, Thana Ajeng."

Tawa mereka berderai. Terdengar menjijikan. Chika memegang kepalaku bengis seolah tempurung ini kepala boneka yang tak memiliki rasa, tak punya otak.

Aku menahan diri.
Menahan diri.
Menahan.
Hingga alasan kuat untuk menahan itu musnah.

Tepat saat kepalaku nyaris dihantamkan pada tiang, kucengkeran tangan Chika, memelintirnya kuat-kuat hingga cewek itu mengaduh.

"Bangsat lo!"

"Argh!"

"Heh lepasin!"

Keempat kawannya melakukan perlawanan. Merangsek maju. Hingga berhenti tiba-tiba ketika kilat mengerikanku terhunus pada mereka satu persatu. Dua bergeming. Satu mundur satu langkah. Satu meneguk saliva gugup. Dan Chika? Dia sedang merintih kesakitan. Tangannya nyaris berbalik posisi. Bahkan terdengat bunyi 'krak'. Tulang kah?

Seringaiku mengudara. "Lo minta gue mengingat-ngingat? Hmm." Kupasang tampang seolah berpikir sebelum kembali menyeringai. "Seingat gue, ini tangan yang gue injak tempo hari. Ck. Gak seru ah! Ganti ajalah!"

"Eh lo-"

Telat. Satu tangan lagi, tepatnya tangan kanan, telah berhasil kupelintir. Tubuh Chika sepenuhnya berbalik membelakangiku tanpa sanggup bergerak. "Lo! Lepasin anjing!"

Kawan mereka memberanikan diri maju. Good. Itulah yang kutunggu. Selagi Chika nyaris roboh karena tidak kuat menahan nyeri. Kutendang perut satu persatu kawannya hingga tumbang menyedihkan di aspal.

"Dasar cewek saiko!"

"Ergh!"

Kudekatkan mulutku pada telinga Chika. "Mau nyerang gue? Anak mami kayak lo? Ckck. Chika ... Chika ... Gue akan kasih lo saran mumpung lagi baik." Kupelintirkan lagi tangan itu hingga bunyi 'krak' kembali terdengar. "Kalau mau jadi jagoan, minimal lo harus broken home dulu kayak gue ..." Chika berkeringat saking nyerinya. "Gimana? Tertarik?"

🍂🍂🍂

[✓] IF (Friendshit, Broken Home, Love triangle)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang