"Tuk!" sebuah benda terjatuh dari saku kecil Milter.
Di tengah suasana gua yang begitu remang dan sunyi, tentu kami akan segera terkejut mendengarkan suara yang janggal sekecil apapun. Tidak butuh waktu yang lama untuk mengarahkan beberapa obor ke arah benda yang terjatuh itu. Benda berkilau. Sebuah cincin permata yang bersinar di tengah cahaya api.
Simon yang berdiri di belakang Carson dan Milter segera mengambil cincin itu. Memperhatikannya dengan seksama, kemudian kembali menatap tajam pada 2 anak yang memandang ketakutan.
"Kenapa anak kecil sepertimu membawa cincin permata?" tanya Simon curiga.
"Uum, cincin itu... cincin itu akan kami berikan sebagai bukti bahwa kami menemukan harta karun." jawab Carson menyela Milter yang tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun.
"Benarkah? Jadi kalian berpikir kami akan mempercayai kalian tanpa harus melihat cincin ini? Atau... atau kalian memang ingin menyimpannya untuk diri kalian sendiri!?"
Kami semua terdiam. Tidak dapat menjawab tuduhan itu. Simon yang tidak sabar mulai menarikku mendekati Milter, memaksanya untuk mengeluarkan semua benda yang ada di sakunya.
Cincin permata, kalung, borgol polisi dan koin emas. Benda-benda itu bermunculan dari saku Milter. Benda-benda bernilai tinggi, benda-benda biasa dan benda berkilau, walaupun kilauan itu tidak nyata sekalipun, namun para perampok itu segera tertarik dan bergerak maju untuk melihatnya. Tanpa sadar mereka pun bergerak ke sana kemari, saling berdesakan untuk berebutan menyentuh benda-benda mahal itu.
"HEI! KALIAN SEMUA TENANGLAH!" teriak Simon yang berusaha mengendalikan suasana yang penuh sesak itu. Namun teriakan itu tidak berhasil menertibkan para perampok yang berdesakan.
Tanpa mereka sadar, Carson berhasil menyusup menjauhi kerumunan itu. Dengan obor yang diletakan di tengah-tengah harta itu, mereka semua terlambat untuk menyadari bahwa ada seorang anak yang menghilang. Hingga suara teriakan seorang anak yang mendekati sebuah pipa di bawahnya mulai menggetarkan telinga mereka.
"SEKARANG!" seru Carson dengan suara yang menggema melalui pipa-pipa dan tersalurkan ke bawah. Tepat pada orang yang sudah lama menunggu datangnya sebuah teriakan dari pipa di atas.
Sebagian dari tanah yang mereka injak, tidak diam sebagaimana mestinya. Tanah-tanah itu mulai bergetar, lambat laun semakin ke bawah hingga akhirnya runtuh secara bersamaan. Beberapa orang yang tidak bisa mengantisipasi hal itu mulai berjatuhan. Tanah yang hilang menyisakan lubang yang cukup lebar. Ditambah lagi, berkat tumpukan manusia yang berkumpul di atasnya, tanah itu berhasil menjatuhkan setengah dari kawanan perampok itu.
Untungnya, apa yang ada di bawah kami bukanlah tanah kasar yang dapat mematahkan tulang setelah jatuh dari ketinggian yang cukup dalam. Beberapa tumpukan pakaian, kain, handuk dan berbagai macam bahan halus lainnya berhasil mengurangi hantaman yang timbul karena terjatuh.
Ketika aku sadar bahwa aku pun ikut terjatuh di ruang makan bunker, aku mulai berlari keluar dari sana bersama Milter. Secara cepat dan tanggap melewati tumpukan perampok yang terbaring di bawah. Kami berlari ke arah dapur, berusaha meloloskan diri dari beberapa perampok yang masih kebinggungan dengan kejutan yang begitu mendadak.
Kami bergerak cepat meninggalkan kawanan perampok itu, keluar dari dapur dan menuju ke arah ruang tamu yang berpintu. Namun para perampok yang melihat kami segera mengejar. Walau mereka tidak punya kesempatan untuk menembak kami karena tikungan tajam yang ada di lorong.
"HEI! CEPAT BUKA PINTUNYA!" Teriakku berusaha memanggil orang yang ada di balik pintu.
Aku dan Milter pun mulai memukul pintu itu dan terus berteriak. Berharap orang-orang yang ada di balik pintu itu mengenali suara kami dan segera menyelamatkan kami sebelum para perampok itu datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kids Bunker
General Fiction3 orang anak kecil bermimpi untuk membuat 'bunker'. Rumah bawah tanah yang akan melindungi seluruh penduduk desa dari bencana alam. Namun, tanpa bantuan dari orang lain? bagaimana cara mereka mencari alat dan bahannya? Hanya ada satu cara, MENCURI!