Uneasiness

159 32 0
                                    

Pemandangan yang sangat tidak meyenangkan. Melihat Walter babak belur dihajar ayahnya. Kami semua memang masih muda dan nakal, tapi tidak akan ada anak yang tertawa melihat pemandangan itu. Bahkan Milter pun mulai menangis, melihat ayahnya yang terus memukuli saudaranya sendiri tanpa ampun.

Kami tidak pernah menyangka bahwa hal ini akan terjadi. Yang kami inginkan hanyalah melindungi Bunker kami. Kami hanya ingin Walter pulang dengan perasaan malu dan melupakan semua kejadian ini. Namun membaca perasaan manusia tidak semudah yang dibayangkan. Terkadang sikap dan gerakan manusia bisa diprediksi. Namun terkadang pula mereka mulai melakukan hal-hal di luar akal sehat.

Karena itulah kami harus mengikutinya lagi. Memastikan bahwa anak yang tidak sadarkan diri itu masih baik-baik saja di punggung ayahnya.

"Entah kenapa aku mulai merasa bersalah." ucap Carson berbisik. "Apakah ini yang disebut dengan takdir? Takdir kita sebagai pencuri yang akan terus menyakiti orang-orang sekitar." 

"Jangan terlalu suka membicarakan hal-hal yang rumit." ungkapku membalas pertanyaannya.

"Mungkin saja impian kita indah. Namun cara-cara yang kita lakukan untuk mencapainya sungguh kotor dan menjijikan. Sesaat aku mulai memiliki pikiran seperti itu. Mungkin karena itulah kita harus mengalami hal ini."

"Tunggu, apa maksudmu?!" Tanyaku tidak senang. "Apa kau mulai meragukan Bunker yang sudah kita perjuangankan selama bertahun-tahun ini?"

"Aku tidak perlu menjawab pertanyaanmu, Sammy. Kupikir kau dan Milter sudah sadar betapa buruknya cara-cara yang kita gunakan untuk membangun Bunker itu. Namun kita tidak bisa mundur setelah apa yang sudah kita lakukan sampai sejauh ini."

"Ya, kita tidak bisa berhenti sekarang. Kita sudah bergerak terlalu jauh. Tidak ada lagi pilihan untuk mundur."

Sesaat aku pun kembali terdiam. Begitu juga dengan Carson. Melangkah perlahan menuju rumah Milter tanpa sepatah kata pun terucap. Milter yang sudah bosan menangis hanya bisa menatap ke bawah. Melihat langkah kakiknya yang lunglai. Ayahnya yang melotot penuh amarah, lambat laun mulai murung. Kami semua melangkah dengan hening, saling merenungkan tindakan kami di tengah hutan yang sunyi.

Langkah demi langkah terasa begitu cepat. Mungkin karena kami sudah terlalu lelah untuk merasa cemas dan khawatir seperti saat kami berangkat. Kami juga sudah terlalu lelah untuk mengomel dan mengeluhkan perjalanan kami yang panjang. Tanpa sadar kami sudah keluar dari hutan. Mengamati Milter, Walter dan ayahnya dari jauh.

Berbeda dengan hutan, kami tidak bisa mengawasi mereka dalam jarak yang terlalu dekat. Karena itulah kami mengikuti mereka secara perlahan. Terkadang bergerak dari jauh seolah kami sekumpulan anak yang hanya lewat dan tidak tahu apa-apa.

Saat itulah aku mulai merasakan hal yang janggal. Desa yang baru saja kami lihat, sangat janggal. Berbeda dengan desa saat kami baru saja berangkat masuk ke hutan. Aku mulai melebarkan jarak pandangku. Berusaha mengamati setiap sudut dari rumah-rumah di sana.

Sesaat pandanganku mulai dikejutkan dengan warna merah. Warna merah yang panas. Warna dari sebuah api yang lambat laun menyelimuti rumah-rumah penduduk. Tidak terkecuali rumah Milter yang masuk dalam jarak pandang kami.

"Apa yang terjadi!?" tanyaku terkejut.

"Entahlah, tapi kelihatan bukan sesuatu yang baik." Jawab Carson masih terpaku melihat pemandangan itu.

Milter dan ayahnya pun segera berlari. Melesat cepat menghampiri rumah mereka. Kami berdua sepakat untuk mengikuti mereka. Melihat apa yang sebenarnya terjadi. Hanya dalam beberapa detik, kami berhasil tiba di rumah Milter yang terbakar. Kami bahkan tidak berusaha bersembunyi dari Walter maupun ayahnya.

"Hei, Milter. Apa-apaan ini?" Tanyaku pada Milter.

"Entahlah, tapi beberapa rumah mulai terbakar satu demi satu. Apa yang harus kita lakukan Sammy!?" ujar Milter panik.

Carson pun segera menepuk-nepuk Walter, berusaha membangunkan pemuda itu yang masih tertidur di punggung ayahnya. Tepukan kecil yang menyentuh tubuh penuh memar itu segera membangunkan Walter. Bangun perlahan dan mulai terkejut dengan api yang menjalar di rumahnya. Ayahnya pun segera menurunkan Walter. Berlari memutari rumah, berusaha mencari seseorang.

"Ada apa ini?" Tanya Walter masih kebingungan.

"Tidak ada waktu untuk menjelaskan kak." Balas Milter menarik tangan kakaknya. "Ayo kita ikuti ayah!"

Kami pun segera berlari ke belakang rumah. Berlari memutar sembari menghindari panas dari api unggun besar. Di sana kami menemukan seseorang wanita. Wanita yang tidak lain dan tidak bukan adalah ibu Milter sendiri.

Tubuh wanita itu penuh memar dan luka bakar.Namun dia berhasil duduk lemah di luar rumah yang terbakar itu, meratapi keadaannya yang menggenaskan. Suami dan anak-anaknya pun tidak tinggal diam dan segera menghampirinya.

"Hei ibu! Apa yang terjadi!?" Seru Walter masih berusaha bertanya.

"Ru..rumah kita" Jawab ibu Walter terpatah-patah. "Rumah kita dijarah!"

Sebuah jawaban yang mengejutkan. Saat itu pun aku mulai mengingat sesuatu. Mengingat kembali alasan sebenarnya mengapa aku ingin membangun Bunker itu. Aku pun mulai mendekati mereka, bersama dengan Carson yang masih kebingungan.

"Apakah kalian tidak menyadari kebakaran yang menjalar di rumah-rumah yang lain?" tanyaku berusaha menarik perhatian mereka. "Sepertinya aku tahu apa yang sebenarnya terjadi."

Mendengar perkataanku, mereka semua kembali tekejut. Carson yang tidak menduga aku akan mengatakan hal itu segera bertanya. "Apa maksudmu kau tahu apa yang terjadi?! Cepat jelaskan Sammy!"

"Mereka tidak sedang menjarah rumah ini. Mereka sedang menjarah desa kita. Apa kalian masih ingat soal harta karun yang dibicarakan oleh Walter?"

"Harta karun apa?" tanya Carson bingung. "Bukankah itu hanya omong kosong Walter untuk memancing ayahnya?"

"Memang benar itu hanya omong kosong." balasku cepat. "Tapi tidak mungkin pria itu bisa mempercayai kebohongan anaknya bila harta itu tidak benar-benar ada. Aku masih ingat, ayah dan ibuku pernah bercerita soal bangsawan yang tinggal di desa ini dan suka menyembunyikan harta kekayaannya di suatu tempat. Juga soal para penyamun yang suka menjarah rumah-rumah penduduk. Namun semua itu hanyalah cerita lama. Cerita yang sudah kudengar bertahun-tahun yang lalu bahkan sebelum kita menggali tanah."

Kisah itu hanyalah sebuah legenda kuno yang kudengar sejak kecil. Entah kenapa aku tidak bisa mengingatnya hingga hari ini. Namun tanpa kisah itu, mungkin aku tidak akan berakhir bersama Carson dan Milter.

***

Kids BunkerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang