Apa yang paling menyakitkan dari kehilangan?
Jika pertanyaan itu diberikan pada sejeong, maka jawaban gadis itu adalah merelakan dan mengikhlaskan. Jangankan untuk merelakan, untuk percaya bahwa kekasihnya sudah berbeda alam dengannya saja dia masih tidak bisa. Semua masih terasa seperti mimpi buruk untuknya. Jika dia bisa, dia ingin segera bangun dan menghilangkan semua ingatan tentang mimpi buruk ini. Tapi sayangnya ini semua adalah kenyataan, semua terasa begitu nyata untuk sejeong anggap sebagai sebuah mimpi.
Jika untuk merelakan saja sangat sulit untuk sejeong lakukan, apalagi mengikhlaskan. Apa merelakan dan mengikhlaskan adalah dua hal berbeda? Tentu saja. Menurut sejeong ketika dia bisa mengikhlaskan sesuatu, dia rasa, dia juga bisa merelakannya. Tapi ketika dia hanya merelakan hal itu, belum tentu rasa ikhlas menyertainya.
Untuk terakhir kalinya, sejeong menatap sendu kepada raga yang tertutup kain putih. Doa yang dia panjatkan dari pagi agar doyoung bisa selamat seperti tidak didengar oleh Tuhan. Jika meminta doyoung agar bangun lagi adalah sesuatu yang serakah untuk sejeong. Maka, untuk saat ini sejeong hanya ingin diberi waktu sedikit saja, biarkan sejeong mengucapkan selamat tinggal dan terima kasih secara langsung kepada kekasihnya itu dan biarkan doyoung bisa mendengar dan menerima ucapan dari sejeong dengan baik, hanya itu. Tapi hal itu pun masih terlalu enggan Tuhan kabulkan.
Baru beberapa bulan sejeong menjalin hubungan dengan doyoung, belum pernah terpikirkan oleh sejeong bahwa hubungannya akan berakhir secepat ini, apalagi dengan cara tragis seperti ini. Dengan doyoung, dia tidak hanya merasa mendapatkan seseorang yang dia harapkan, tapi lebih dari itu. Lelaki itu lebih dari yang sejeong kira. Jika awal mula sejeong tertarik dengan doyoung karena pembawaannya yang terkesan tenang tapi tegas. Bukan penebar pesona tapi ramah. Namun setelah bersama dengan doyoung, sejeong lebih tahu banyak hal, dan hal-hal itu juga yang membuat sejeong semakin jatuh, jatuh tepat pada hati kekasih pertamanya itu. Mereka berdua memang ditakdirkan untuk menjadi yang pertama dan terakhir bagi salah satu dari mereka, tapi bukan pertama dan terakhir untuk satu sama lain. Ya, doyoung adalah yang pertama untuk sejeong. Dan sejeong, dia yang terakhir untuk doyoung.
Dan hanya dengan begitu saja, cerita mereka telah selesai.
Tangis yang sedari tadi seakan tidak bisa reda membuat tubuh sejeong semakin lemah. Sehun tidak melepaskan bahu gadis itu barang sedetikpun, karena ia takut kalau sewaktu-watu sejeong pingsan. Saat jasad doyoung akan dibawa pulang, sehun bertanya dengan hati-hati.
"Lo mau--"
"Pulang." Sehun bergeming mendengar sejeong memotong ucapannya tadi, dan sedikit memandang aneh gadis itu. "Tolong anterin gue pulang."
"Lo nggak mau ikut ke rumah dia?" Sehun merasa perlu memastikan keputusan sejeong. Pasalnya ini mungkin menjadi saat terakhir sejeong bisa melihat doyoung secara langsung.
Gadis itu menggeleng dan tetap dengan keputusannya. "Gue mau pulang."
Akhirnya sehun mengalah dan membawa gadis itu keluar gedung rumah sakit. Alih-alih menuju parkiran dan mengambil motornya, sehun justru menggiring sejeong ke halte depan rumah sakit. Sehun memutuskan untuk meninggalkan motornya disini, dan akan diambil nanti, dan sekarang dia lebih memilih naik taksi bersama sejeong. Karena membonceng sejeong dalam keadaan seperti ini sangat beresiko, dan jika sehun membiarkan sejeong naik taksi sendiri itu mungkin lebih beresiko lagi.
Tak perlu waktu lama untuk mendapatkan taksi yang bisa mengantar mereka. Karena letak rumah sakit yang berada disamping jalan besar. Saat didalam taksi suasana masih hening, sehun tidak berani membuka suara, dia takut jika salah ucap akan membuat sejeong semakin terluka. Sedang kan sejeong, gadis itu masih meneteskan air matanya, dan menyandarkan kepalanya pada kaca mobil. Saat mobil melewati polisi tidur otomatis membuat kepala gadis itu sedikit terbentur. Tapi seakan bukan masalah besar untuk sejeong, karena hatinya lebih sakit dibanding benturan kecil antara kepalanya dan kaca mobil. Tapi melihat hal itu sehun tidak bisa diam saja, kepalanya serasa ikut sakit setiap melihat kepala gadis itu membentur. Tanpa pikir panjang, sehun mengikis jarak antara dirinya dan sejeong. Tangannya meraih kepala sejeong, lalu menyandarkan pada bahu lebar miliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAIL [SELESAI]
RandomOrang yang berbeda-beda Rasa yang berbeda-beda Cara yang berbeda-beda Untuk satu hal yang sama yaitu "CINTA"