Jalan lain

90 14 4
                                    

Ini sudah hari ketiga kepergian Doyoung, selama tiga hari itu juga Sejeong masih mengurung diri dikamarnya. Selera makannya pun belum kembali sepenuhnya, hanya satu atau dua suapan yang bisa dia terima, setelahnya dia akan menolak lagi. Jika ditanya bagaimana kondisinya sekarang, tentu saja jauh dari kata baik-baik saja. Tapi bagaimana lagi, Mama, Papa, Kakaknya, Krystal, semua sudah mencoba berbagai cara agar dia mau keluar dari lingkaran kesedihannya. Sekuat apapun mereka dalam mencoba menyemangati dan memberi dukungan agar Sejeong kembali baik-baik saja tidak akan mengubah apapun, karena seharusnya diri Sejeong sendiri yang harus menguatkannya. Sejeong sendiri sadar, dan dia ingin kembali bersikap biasa saja, tapi setiap hal yang ingin dia lakukan selalu mengingatkannya kepada Doyoung.

Sejeong merubah posisi berbaringnya menjadi duduk, dan pusing dikepalamya menjadi hal pertama yang menyambut. Sejeong memejamkan matanya, menunggu hingga pusing itu sedikit mereda. Setelahnya gadis itu berjalan lunglai kearah jendela kamarnya, lalu membuka tirai sekaligus jendela yang masih tertutup rapat. Rintik hujan menyapa diluar rumah, ini masih pagi tapi air hujan seakan menari-nari dengan gembira memeluk bumi. Sejeong memejamkan matanya lagi, tapi kali ini bukan untuk menghilangkan rasa pusing dikepalanya melainkan menghirup udara dalam-dalam, tapi bukan hanya sejuk melainkan dingin yang dia rasa.

Saat dia membuka matanya, yang terlihat bukan pohon mangga milik mama yang tinggi menjulang, tapi bayang-bayang dirinya dan Doyoung yang berjalan berdampingan, hujan masih tetap turun mengiringi langkah mereka. Sejeong ingat betul bayangan yang dilihatnya adalah ingatannya tentang hari itu. Itu hari ulang tahun Doyoung, mereka baru saja makan bersama. Tidak mewah, hanya makan berdua di warung mieso alias mie ayam bakso langganan Sejeong. Hari itu Doyoung tidak membawa motor, katanya sedang di servis karena sudah waktunya. Awalnya hanya gerimis waktu mereka keluar dari warung itu, tapi ditengah perjalanan, titik-titik gerimis menjadi lebih besar dan lebih lebat. Sialnya, mereka jauh dari tempat berteduh. Karena sudah terlanjur basah dan hujan yang tenang tanpa hembus angin yang menakutkan dan suara-suara guntur yang biasanya muncul saat hujan, mereka tetap melanjutkan perjalanan mereka, untungnya baik Sejeong maupun Doyoung menggunakan jaket masing-masing jadi tidak terlalu khawatir dengan seragam putih yang akan terlihat menjiplak bentuk tubuh karena basah.

"Makasih ya." Ucap Doyoung saat itu.

"Ini lagi nyindir ya? Soalnya tadi aku belum bilang makasih buat traktirannya." Jawab Sejeong sambil sedikit terkekeh.

"Bukan."

"Terus? Makasih buat apa?"

"Karena kamu jadi orang yang pertama ngucapin selamat ulang tahun buat aku."

"Tapi bukan satu-satunya orang yang ngucapin kan?"

Doyoung hanya tersenyum lalu mengangguk.

"Dapet berapa banyak ucapan selamat hari ini?"

"Banyak. Kalau ditukerin krupuk bisa dibagi satu RT." Lalu Doyoung kembali menatap Sejeong. "Tapi cuma kamu yang ngerayain sama aku."

"Keluarga kamu?"

"Keluargaku jarang, bahkan hampir nggak pernah ngerayain hal-hal kayak gini. Tapi kalau ucapan atau kado sih masih lancar jaya dapetnya."

"Tapi kamu nggak keberatan kan aku ngerayain ginian? Kalau kamu ngerasa nggak nyaman aku minta maaf."

Doyoung menggeleng, "nggak kok, justru lebih seru dari yang aku kira."

"Mulai tahun ini kita rayain ulang tahun bareng-bareng ya." Doyoung mengangguk, "Kalau aku ulang tahun, aku yang traktir."

Sejeong merasakan sesak didadanya, airmata kembali menetes lagi. Ingatan itu masih terlalu jelas dikepalanya. Lalu bibirnya berucap lirih.

"Bentar lagi aku ulang tahun. Doyoung... ayo makan bareng, aku yang traktir."

RAIL [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang