14. SKETCHBOOK

36 3 35
                                    

"Punya kamu?" Hega mengulang pertanyaannya. Wajah yang jarang tersenyum itu kini terlihat sangat dingin.

"Dimana?" Akhirnya Qia angkat bicara meski sedikit kesusahan. Takut, kesal, sedih, malu semua menjadi satu. Rasanya ia ingin menghilang kemana pun asal tidak bertemu Hega.

"Dari Jingga," jawab Hega.

"Jingga? Mentari Jingga maksud kamu?" tanyanya terkejut.

"Iya, dia sepupu saya." Qia pun mengangguk-angguk sebagai jawaban. Ada sedikit kelegaan di hatinya. Setidaknya bukan Hega, orang yang menemukan sketchbook-nya.

"Kenapa nggak dia aja yang kasih sketchbook-nya?" tanya Qia sembari menggoyangkan sketchbook yang baru ia terima dari Hega.

Cowok dengan kamera yang menggantung di lehernya itu menyelonjorkan kedua kakinya ke depan sedangkan tangannya ia biarkan untuk menahan bobot tubuhnya di kedua sisi tubuh. Lalu ia berkata, "Dia sudah pulang."

"Hah? Emang boleh ya?"

Hega mengangkat kedua bahunya pertanda tidak tahu.

Lalu hening. Keduanya diam tidak ada yang berniat angkat suara. Hanya ada hembusan angin malam dan suara dari kayu yang dibakar di depan mereka, seeta suara lagu yang terus berputar dari earphone yang Qia pakai. Qia kembali menaruh kepalanya di atas lutut dan Hega tetap seperti posisi awal.

Sebenarnya Qia sendiri ingin sekali bertanya tentang nada bicara Hega yang berbeda. Namun, ia ragu.

'Tanya. Nggak. Tanya. Nggak. Ta-'

"Aqia?" panggil Hega yang mampu membuat Qia tersentak lalu segera menolehkan kepalanya ke cowok yang memanggilnya itu.

"Eh, kenapa Ga?" tanyanya.

"Tidak. Hanya memanggil," jawab Hega tetap dengan nada dinginnya. Mungkin kalau yang melakukan itu bukan Hega yang sedang dingin sudah Qia balas dengan merotasikan bola matanya. Tapi, kali ini berbeda.

'Oke tanya.'

"Hega?"

Hega tersenyum kecil, dia pikir Qia ingin mengerjainya. "Kenapa? Me-"

"Kamu kenapa?" Potong Qia cepat membuat Hega seketika melihat ke arah Qia dengan sorot dingin dari kedua netranya. Sedikit banyak membuat nyali Qia menciut dibuatnya.

'Aduh. Serem banget. Tapi, penasaran. Aku terlalu ikut campur nggak yah?' tanya Qia dalam hatinya.

"Saya? Kenapa?"

Tapi, pada akhirnya jiwa keingintahuannya menguasi. "Ga. Aku nggak tau ya kamu lagi ada apa tapi, nada bicara kamu itu beda dari Hega yang biasanya. Oke, mungkin orang lain nggak akan sadar tapi, untuk beberapa orang yang memperhatikan pasti akan sadar termasuk aku. Kamu tau nggak sih? Aku kira tadi kamu marah sama aku atau ya something like that," cerocos Qia panjang lebar seolah tidak ada hari esok untuk berbicara.

"Eh? Kamu memperhatikan saya?" tanya Hega. Sungguh ini sangat aneh, Hega seperti sedang meledeknya hanya saja dengan nada bicara yang dingin. Sangat aneh didengar.

"Hega sekarang bukan waktunya buat tanya," jawab Qia yang sebenarnya sedang menyembunyikan kegugupannya.

"Saya sebenarnya cukup terkejut ada orang yang sadar dengan perubahan mood saya. Apalagi orang itu kamu," Hega kembali melihat ke depan membiarkan Qia yang tetap memandangnya. "Kalau kamu tanya saya kenapa, saya tidak kenapa-kenapa kebetulan saja sebelum kesini sedikit ada problem. Mungkin itu yang buat nada bicara saya sedikit berbeda."

IK HOU VAN JOU [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang