Sudah sejak tiga puluh menit lalu perempuan dengan nama lengkap Aqia Kirania Beatarisa itu mematut dirinya di depan cermin. Ini adalah final baju yang akan ia kenakan.
Jantungnya berdebar kencang tidak sabar menunggu jarum jam menunjuk angka tiga. Beberapa kali ia belajar mengucapkan beberapa kata yang sekiranya nanti ia gunakan.
Suasana hatinya benar-benar bagus. Bahkan kalau tidak sadar sudah rapi ia bisa saja kembali lompat-lompat di atas kasur, menjadikannya kena omel sang ibu.
Aqia kembali tersenyum. Memekik tertahan. Dunianya sedang baik-baik saja sepertinya.
"Kakak jadi enggak lo? Gue udah mau pergi nih!" Suara sang adik menginterupsinya. Buru-buru ia mengambil sling bag putih miliknya. Menggantungkannya di bahu kanan.
"Jadii!" teriaknya, mengambil satu pasang sepatu lalu berlari keluar kamar.
"Kakak jangan lari-lari nanti jatuh!" peringat bu Rahma membuat Qia menyengir lebar.
"Ini mau kemana kalian?" tanya wanita paruh baya itu menatap satu-satu anaknya, yang satu sudah ganteng dengan jaket bomber-nya dan yang satu sudah cantik dengan kaos oversize yang dimasukkan dalam rok jeans selutut.
"Nonton basket!" sahut Qia mendahului adiknya. Takutnya anak itu berbicara macam-macam.
"Walah pantes si kakak cantik banget, mau nonton capar ya kak?" ledek bu Rahma mengedipkan matanya membuat Qia melolot.
"Capar apaan Bu?" tanya Arka.
"Calon pacar."
"Iih Ibu!" rengek Qia malu. Wajahnya memerah karena diledek oleh sang ibu.
Bu Rahma tertawa melihatnya. "Ya udah gih, nanti telat," ujarnya yang diangguki kedua anaknya. Mereka pun mencium tangan ibunya secara bergantian.
Arka memanaskan motornya sembari menunggu kakaknya yang tengah memakai sepatu. Sebenarnya dia juga tidak tahu ada apa, kenapa kakaknya begitu bersemangat untuk menonton basket, padahal hanya sparing biasa. Tapi, selagi kakaknya bahagia ya Arka turutin.
"Ayo!" seru Qia setelah memakai sepatu dan helmnya. Perempuan yang sedari tadi terus tersenyum itu naik ke atas motor sang adik, memeluk yang lebih muda dengan erat.
"Lo lagi kenapa sih kak?" tanya Arka saat mereka berhenti di lampu merah.
"Kenapa? Enggak papa perasaan," kilah perempuan itu mengedikkan bahunya.
"Tapi lo kegirangan gitu, padahal gue enggak ada janji mau traktir lo tahu aci deh," ujar si ganteng. Kembali menjalankan motornya saat lampu lalu lintas berubah menjadi hijau.
"Emangnya yang buat gue bahagia cuma tahu aci? Tapi, boleh deh kalau lo mau traktir nanti kebahagiaan gue double," cengir Qia membuat adiknya memutar bola mata malas.
"Enak di lo dong!"
"Sekali-kali nyenengin kakaknya Ar!"
"Sekali-kali pala lo!" Dan cengiran Aqia semakin lebar. Pelukannya semakin erat, menghirup aroma cokelat khas adiknya.
Kenapa ia merasa sesenang itu? Padahal apa yang nanti dibicarakan Hega belum tentu hal yang bagus? Memangnya dia sudah tahu Hega akan menjawab apa?
Kalau ditolak? Kalau Hega mengatakan hal yang sama kayak yang laki-laki itu katakan pada Ghia bagaimana?
"Kak!" panggil Arka tidak ada lembut-lembutnya membuat Qia tersentak dan dengan segera melepas pelukan serta turun dari motor.
"Besok kita ke THT dah, kayaknya lo beneran budeg." Arka membuka ritsleting jaketnya, memperlihatkan koas hitam polos yang laki-laki kenakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
IK HOU VAN JOU [Selesai]
Teen FictionPerihal cinta dalam diam yang disimpan rapi oleh Aqia Kirania Beatarisa. Tapi, siapa yang tahu jika kesialannya di hari itu membuat perasaannya ternyata terbalaskan. "Senja dan kamu jelas berbeda, apalagi jika menyangkut kesukaan. Kamu lebih saya...