30. KOLAM RENANG

17 6 18
                                    

Sudah seminggu berlalu dan sudah seminggu pula si sekretaris OSIS menjaga jarak dengan Hega. Jika dulu Qia akan menjadi orang pertama yang menyapa Hega saat berpapasan, kini senyum saja tidak ada. Perempuan itu akan memalingkan wajahnya atau seolah-olah tidak melihat Hega.

Hega mungkin bukan orang yang perasa, tapi itu dulu. Jauh sebelum Aqia mampir di hidupnya. Menjadikan sesuatu dalam dirinya hidup kembali. Perempuan pemilik senyum manis itu berhasil membuat hidup Hega berwarna, meski tidak seramai itu.

Sebuah gambar yang ia pegang erat di tangannya kini ia angkat tidak terlalu tinggi. Seorang laki-laki yang ada di dalam gambar begitu mirip dengannya. Tapi apa iya?

Laki-laki itu kembali meragu. Gambar itu kembali ia turunkan, diletakkan di sebelahnya dan ditindih dengan seragam batiknya yang telah ia tanggalkan dari tubuhnya, menyisakan kaos putih dan celana olahraga yang melekat di tubuh atletis itu.

10 menit lalu kelas XI MIPA 1 baru saja menyelesaikan pelajaran olahraga. Dan kini menyisakan Hega sendirian di tepian kolam renang, dengan baju setengah basahnya. Entah apa yang ada di pikiran si ketua klub fotografi itu, sampai-sampai menolak ajakkan teman-temannya untuk ke kantin. Dan lebih memilih sendiri di sana.

"Kayaknya otak saya rusak." Hega menggelengkan kepalanya, menepis semua pikiran yang didominasi oleh Aqia.

Tanpa berpikir dua kali, ia kembali masuk ke dalam kolam renang, mengabaikan tubuhnya yang kembali basah, dan mengabaikan jam istirahatnya. Laki-laki dengan nama lengkap Hega Fatharian Djayadi itu berenang dari ujung dan kembali ke tempatnya tadi, begitu terus hingga putaran ketiga ia muncul di permukaan.

Sekembalinya ke permukaan ia mengibaskan rambutnya, membuat air menyiprat ke manapun. Jangan lupakan kaos putih yang mencetak jelas bentuk tubuh laki-laki itu.

"Hega airnya nyiprat!" protes seseorang membuat Hega menghentikan kegiatannya, tangannya mengusap wajahnya guna menghilangkan air yang mengalir.

"Lho?"

"Apa?" tanya perempuan itu yang masih tetap berdiri sambil bersidekap dada.

"Kapan di situ?" tanya Hega balik, mendongak menatap yang lebih tinggi mencoba memandang wajah itu meski terhalang sinar sang mentari.

"Sejak tadi, setelah kamu lompat ke kolam," perempuan itu mengedikkan bahunya.

Hega mengangguk. "Kenapa ke sini?"

"Kamu dipanggil Pak Fendi, suruh ke kantor," tutur perempuan itu membuat Hega kembali mengangguk dan beroh ria.

"Kok diam?" Perempuan itu mengeryitkan keningnya, saat tidak ada pergerakan apapun dari Hega, "Buruan naik Pak Fendinya mau ke mana gitu lupa," lanjutnya.

Sebuah ide tiba-tiba terlihat di otak Hega. Ia menatap sekali lagi pada perempuan di depannya untuk meyakinkan.

"Tolong." Hega mengulurkan tangannya meminta bantuan untuk ia naik. Perempuan itu memutar bola matanya, sebelum akhirnya menggapai tangan Hega. Namun, ketika ia hendak menarik Hega sudah lebih dulu menariknya sehingga ia masuk ke dalam kolam renang.

"AAAAAA!"

Byuurr!

"Hega! Ya Tuhan kamu tuh!" kesal perempuan itu memukul bahu Hega yang malah membuat laki-laki itu tertawa.

Kini keduanya berada di tengah kolam dengan si puan yang memegang erat pundak Hega sebab kakinya yang tidak sampai di dasar kolam, berbeda dengan Hega yang memiliki tinggi badan jauh di atasnya.

Lama kelamaan tawa Hega mereda. Keduanya tenggelam dalam tatapan satu sama lain, seolah menyampaikan segala kata yang tidak bisa diucap lewat mulut semata. Jantung keduanya berdetak cepat. Dinginnya air kolam tidak lagi terasa, atau mereka yang mati rasa?

IK HOU VAN JOU [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang