Semilir angin dan hiruk piruk kebisingan taman menjadi pengisi kekosongan antara Hega dan Qia. Sejak mereka duduk tadi belum ada yang memulai berbicara. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Malamnya cantik ya." Qia memandang langit malam yang menampilkan bulan dan beberapa bintang menemani.
"Akhir-akhir ini langit Jakarta mulai keliatan bintangnya, berarti polusi ibu kota udah mulai berkurang. Semoga sih suatu hari nanti bisa ngeliat bintang dengan jelas di Jakarta." Cewek itu bercerita sendiri tidak berharap mendapat tanggapan dari cowok di sampingnya. Sebenarnya ia sedang mengurangi kegugupannya karena berdekatan Hega.
"Hega-"
"Maaf," sela Hega membuat Qia spontan menoleh.
"Hm?"
"Saya minta maaf." Ulang Hega namun, masih belum mampu menjawab kebingungan Qia.
"Maaf? Buat apa?" tanya Qia mengutarakan kebingungannya.
"Rumah sakit, saya memarahi dan bentak kamu." Hega menjawab tanpa melihat ke arah lawan bicara. Pandangannya lurus ke depan.
Qia bungkam. Kenapa Hega bisa secepat ini meminta maaf? Dan kenapa harus minta maaf? Qia memang kesal karena, Hega marah tanpa sebab tapi ia tidak marah. Qia paham situasi mungkin waktu itu Hega memang sedang capek terus Jingga masuk rumah sakit, dia hanya bingung harus bagaimana. Dan kebetulan disitu ada Qia yang sialnya malah dijadikan tempat luapan emosi Hega.
"Saya tidak dapat maaf ya?" Hega menolehkan kepalanya ke arah cewek yang hanya diam.
Seolah tersadar dari lamunannya Qia segera menggeleng. "No, bukan gitu. Maksud ku kenapa kamu minta maaf?" tanyanya.
"Ya karena saya salah," balas Hega.
"Kamu sakit hati dengan kata-kata saya di rumah sakit?" tanya cowok itu dan Qia mengangguk ragu.
"Tapi bukan gitu maksudnya. Pada saat itu aku cuman bingung dengan keadaan, aku nggak bisa langsung mencerna apa yang terjadi. Harusnya disitu aku sadar kalau kamu lagi capek, takut dan bingung harus ngapain. Harusnya aku nggak banyak tanya. Dan-"
"Dan harusnya saya bisa mengontrol emosi saya." Hega memotong penjelasan Qia.
"Kalau gitu kita saling memaafkan aja gimana?" tawar Qia setelah sebelumnya hanya terjadi keheningan.
"Kenapa kamu tidak balas marah saja ke saya?" Pertanyaan konyol Hega mengundang tawa dari cewek yang duduk di sampingnya.
"Hega kamu ingat nggak perkataan aku waktu malam LDKS?" Hega mengangguk tanpa harus berpikir keras. Karena, kata-kata Qia malam itu memang membekas diingatannya.
"Kalau kamu ingat harusnya kamu tau alasan aku nggak marah," kata Qia selanjutnya. Matanya memandang jauh ke depan dimana banyak orang berlalu-lalang, banyak pedagang makanan juga. Ada bakso, martabak, gorengan, kebab, tahu aci– tunggu.
"Ga, aku kesana dulu ya!" pamit cewek itu berjalan ke arah para pedagang berkumpul. Bahkan tanpa perlu mendengar jawaban Hega.
Sedangkan Hega yang ditinggalkan hanya bisa mengeryit bingung. Dia harus duduk diam menunggu atau ikut berjalan kesana? Sepertinya, duduk adalah pilihan terbaik.
"Mang sepuluh ribu ya!" pesan Qia pada penjual tahu aci.
"Siap neng Qia!" Penjual itu memang sudah kenal dengan Qia, secara cewek itu hampir setiap malam beli tahu aci.
"Nih neng!" Mamang penjual menyerahkan pesanan Qia namun, tak kunjung diterima karena cewek itu sedang sibuk menggeledah saku celananya.
"Hehe," Cengir Qia yang langsung dapat dimengerti oleh si mamang.
KAMU SEDANG MEMBACA
IK HOU VAN JOU [Selesai]
Teen FictionPerihal cinta dalam diam yang disimpan rapi oleh Aqia Kirania Beatarisa. Tapi, siapa yang tahu jika kesialannya di hari itu membuat perasaannya ternyata terbalaskan. "Senja dan kamu jelas berbeda, apalagi jika menyangkut kesukaan. Kamu lebih saya...