20. D FOR DJAYADI

33 4 17
                                    

Plakk!

Suara telapak tangan yang mengenai kulit wajah terdengar begitu nyaring. Semua yang disana hanya mampu terdiam. Terlalu terkejut dengan kejadian yang terjadi.

Sparing basket antara SMA Adiwangsa dan Nusantara baru selesai beberapa menit lalu dengan dimenangkan oleh Adiwangsa. Para penonton pun sudah pulang, tinggal beberapa yang mungkin ada urusan lain.

Sedangkan para pemain dari SMA Adiwangsa disuruh baris oleh Pak Bowo, guru olahraga sekaligus pelatih basket. Kata beliau ada salah satu donatur yang hendak datang.

Dan siapa sangka jika donatur itu malahan menampar Hega dengan kerasnya di depan guru, teman basket bahkan di depan Qia. Membuat semuanya terdiam kaku. Hendak membantu pun enggan. 

"Ngapain kamu disini?!" Pertanyaan sarkatis itu meluncur dari mulut si donatur. Bapak Djayadi.

"Basket," balas Hega singkat. Tamparan tangan Djayadi masih membekas di pipi kiri Hega. Membuat wajah Hega memerah entah karena tamparan atau karena amarah yang tertahan. 

"Bangga kamu? BANGGA KAMU HEGA?!"

"Kamu tahu tidak kalau kamu tidak berguna? ANAK TIDAK BERGUNA, TIDAK TAHU DIUNTUNG!"

"Apa Ayah pernah bilang kalau kamu boleh melakukan ini?" Djayadi mencengkram erat bahu Hega.

"Ayah, kita bahas ini di rumah ya?" pinta Hega dengan tatapan memohon pada Ayahnya. Dia hanya tidak ingin membuat suasana menjadi tidak enak apalagi ini masalahnya dengan sang Ayah, orang lain tidak perlu tahu dan ikut campur.

"Kenapa? Kamu malu? Malu karena teman-teman kamu akhirnya tahu sifat buruk kamu?" tanya Djayadi menatap satu-satu pada teman-teman anaknya, seolah berkata tentang bagaimana aslinya seorang Hega. Lantas pandangannya kembali beralih ke arah Hega.

Ayah? Qia yang berdiri tidak jauh dari tempat kejadian mematung, bahkan semua yang di sana pun begitu kecuali Sofyan, Bagas, Rasya, dan Argo tentunya. Jadi, Pak Djayadi salah satu donatur terbesar itu ayah Hega?

"Apa saya pernah mengizinkan kamu buat melakukan ini, Hega? JAWAB!" bentak Djayadi membuat semua yang di sana terkejut namun lain dengan Hega hanya terlihat terdiam tenang.

"Tidak."

"Terus kenapa kamu lakuin? Apa kamu anggap perintah ayah hanyalah angin lalu untuk kamu?!"

"Kenapa dari dulu kamu tidak bisa membanggakan ayah, Hega? Kenapa kamu tidak bisa seperti Hans? KAMU MAU BUAT AYAH MALU?!" 

"Maaf Om, Hega-"

"Saya tidak ada urusan dengan kamu, Sofyan. Jadi tolong diam. Jangan pernah kamu atau semua yang di sini membela si pembangkang ini." 

Sofyan hendak bersuara lagi namun, Hega menggelengkan kepalanya pelan seolah isyarat untuk Sofyan tidak ikut campur. Cowok yang berstatus sahabat Hega itu akhirnya menghela nafas dan mundur. 

"Dan untuk kamu. PULANG SEKARANG!" Rahang pria berumur setengah abad itu mengeras menatap putranya dengan penuh emosi sedangkan yang ditatap hanya diam menghadap ayahnya, seolah itu adalah hal biasa untuknya.

"Jangan sampai saya liat kamu ke tempat ini ataupun ke tempat basket lainnya. Camkan itu!" titah Pak Djayadi pelan dan penuh penekanan. Lalu melepaskan cengkeramannya dari bahu Hega membuat tubuh itu sedikit terdorong ke belakang. 

Pak Djayadi meninggalkan lapangan diikuti oleh pak Bowo. Hega menarik nafasnya panjang sebelum akhirnya menatap teman-teman basketnya. Ia terdiam sebelum akhirnya membuka suara.

"Saya meminta maaf atas nama ayah saya. Maaf hari ini harus berakhir kacau karena saya. Hari ini kalian bermain dengan bagus, semoga turnamen nanti kita bisa membawa piala kemenangan. Kalian tidak perlu khawatir, saya akan pastikan bahwa tim basket ini akan tetap ada." 

IK HOU VAN JOU [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang