"Ma, boleh aku bertanya?" tanya Rania saat melihat ibunya sedang memasak di dapur.
"Apa?"
"Di mana ayah?"
Bu Dewi menghentikan aktivitasnya sejenak. "Bukankah sudah mama katakan kalau ayahmu telah meninggal?"
"Lalu di mana makamnya?"
"Untuk apa? Tak perlu berziarah, kirim doa saja dari rumah."
"Ma!"
"Cukup, Nia! Tak semua masalah orang tua kamu harus tahu. Ada kalanya kamu harus pura-pura tidak tahu. Pahamilah perasaan mama," bentak Bu Dewi dengan mata berkaca-kaca.
Rania yang baru kali ini melihat ibunya begitu marah terkejut. Tanpa sadar dia menangis. Bukan karena takut, lebih karena kecewa akan sikap ibunya.
Bu Dewi memalingkan wajah karena tak sanggup melihat anak semata wayangnya menangis. Sudah lama sejak terakhir kali anaknya itu bertanya tentang sang suami, tanpa tahu dirinya terluka tiap kali ingat akan sosok pria yang dicintainya itu.
"Nia hanya ingin tahu, Ma. Bukankah Nia berhak tahu jati diri Rania. Nia tahu, jawabannya mungkin saja sangat menyakitkan. Tapi, sungguh Rania hanya ingin tahu, Ma. Paling tidak sekedar nama atau fotonya. Rania janji tidak akan bertanya lebih dari itu. Rania sudah cukup dewasa untuk memahami semua itu, Ma. Nia sudah SMA, bukankah dalam usia ini Rania sudah cukup bijak menyikapi sebuah masalah?" bujuk Rania.
Bu Dewi yang terdesak tak punya pilihan lain. Mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan segalanya. Perlahan wanita itu melepas liontin di lehernya lalu menunjukkan sebuah foto yang diletakkan di dalamnya.
"Ini ayahmu. Namanya Burhan. Kami menikah di bawah tangan. Bahkan surat keterangan bahwa kami menikah sah secara agama raib bersama tas milik mama, dirampok penjahat. Tak ada lagi kenangan tentang ayahmu selain ini yang bisa mama selamatkan."
"Kenapa ayah pergi?"
"Demi keluarganya, nenekmu sakit keras dan memaksa ayahmu menikah dengan wanita pilihan mereka. Ayahmu tak bisa menolak meski ingin."
"Ayah tak pernah mencari kita?"
"Mungkin pernah, tapi entahlah! Sudah cukup Nia. Kau janji hanya ingin tahu tentang nama dan fotonya." Bu Dewi meraih tangan Rania dan meletakkan di atas kepalanya. "Bersumpahlah atas nama mama, kau tidak akan mencari ayahmu!"
Rania yang begitu takut sekaligus kecewa mengangguk pasrah dengan sumpah itu. Dia tak pernah lagi mencari tahu tentang ayahnya. Pun juga percuma karena sang ayah telah tiada.
Kini kebenaran itu justru datang menghampirinya. Tanpa dicari atau diminta. Seolah-olah memberi sebuah petunjuk pada kegalauan hati Rania sejak kemarin.
"Takdir benar-benar kejam. Dulu mama sekarang aku. Entah kenapa keluarga ini merenggut semua yang kumiliki," gumam Rania pada dirinya sendiri. Tubuhnya sedikit terhuyung, tetapi tangannya berhasil berpegangan pada meja.
"Tidak! Tidak lagi. Aku dan mama sudah cukup menderita. Sekarang saatnya kau merasakan apa yang dulu kami rasakan. Maaf Nabilla, tapi aku tak mau terus mengalah dan sejarah kembali berulang."
Rania mengembalikan album itu ke tempatnya dan segera meninggalkan gudang. Dia berjalan cepat ke kamarnya mencari telepon genggam. Sejak kemarin benda pipih itu begitu berisik dengan obrolan pada grup WA teman SMP nya. Dia mencari sebuah nomor dan menekan tombol panggil.
"Dev, ini aku, Rania. Bisa kita bertemu?"
***
Firman sedang sibuk di ruang kerjanya saat pintu diketuk dan Rania masuk ke sana. Wanita itu berdiri di depan suaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Cinta Satu Atap
RomancePoligami tidak semudah yang dibayangkan. Seadil-adilnya seorang suami, tetap akan ada yang terluka. Lalu bagaimana cara Firman membagi cintanya pada kedua istrinya, Nabilla dan Rania.