16

650 42 3
                                    

Selesai dengan urusannya di toilet, Rania berjalan ke arah wastafel untuk mencuci tangan. Saat itu Devi tengah memoles bibirnya dengan lipstik. Sebenarnya Rania tidak terlalu nyaman dengan wanita itu. Sebab pernah punya kenangan pahit karena ulah Devi. Namun, Rania berpikir mungkin temannya itu telah berubah. Lagipula kejadian itu telah belasan tahun yang lalu.

"Nia! Gimana rasanya jadi istri kedua?" tanya Devi tiba-tiba.

"Heh?"

"Suamimu itu, sebelumnya sudah punya istri kan? Mantan suamiku pernah mengajakku ke acara pernikahan mereka. Kalau enggak salah namanya Nabilla."

Rania yang sempat menatap curiga segera menundukkan kepalanya. Sejujurnya dia terkejut dan bingung harus bagaimana. Akan tetapi, sudah terlanjur tertangkap basah.

"Rasanya bahagia. Kami hidup rukun dan damai dalam satu atap." Rania mempercepat aktivitasnya mencuci tangan.

"Oh, ya? Kamu yakin? Sepertinya mereka hanya pura-pura."

"Apa maksudmu, Dev?"

"Aku tahu Nabilla tidak akan bisa punya anak. Dia sakit kanker. Jadi aku pikir karena itu kamu dijadikan yang kedua. Kau tahulah, wanita mana yang rela istrinya menikah lagi kalau bukan karena ada maunya."

"Cukup, Dev! Kamu tidak kenal kami. Jadi, jangan bicara yang tidak-tidak." Rania mengibaskan tangannya yang basah dan bergegas pergi. Namun, ucapan Devi membuatnya berhenti.

"Asal kamu tahu, aku yang mengirim undangan reuni ke rumahmu. Tidakkah kamu merasa aneh bagaimana undangan itu bisa sampai di rumah Nabilla?" Devi memutar tubuhnya menghadap ke arah Rania.
"Aku tak berniat jahat, Nia. Aku hanya ingin memperingatkanmu sebagai teman. Aku lebih dulu mengenal mereka daripada kamu. Suamiku cukup dekat dengan mereka. Jadi, aku tahu semua cerita kehidupan rumah tangga mereka."

"Tapi suamiku tidak mengenal dirimu."

"Tentu saja. Dan itu tidak penting. Aku hanya tak ingin melihatmu mengalami nasib seperti diriku. Maksudku diceraikan dan menjadi janda."

"Itu tidak mungkin!"

"Percayalah padaku, saat mereka mendapatkan anak. Kau akan diabaikan. Orang-orang kaya seperti mereka itu egois. Mereka bisa melakukan segala cara untuk memenuhi gaya hidup mereka."

"Berhenti berbicara buruk tentang keluargaku!" Rania tak bisa lagi menahan amarah.

"Baiklah, aku tahu kau masih terlena dengan sandiwara mereka. Tapi tetap saja aku ingin memberi saran padamu. Selagi ada kesempatan, menangkan hati suamimu. Jika kau bisa jadi satu-satunya, kenapa harus berbagi?"

"Kau pikir aku akan percaya begitu saja? Aku lebih mengenal keluargaku daripada kamu!" Rania mempercepat langkah, tak ingin mendengar lebih banyak ucapan temannya.

Rasa kesal tidak dapat ditutupi dari wajah Rania. Dia berjalan cepat menghampiri suaminya yang dengan sabar menunggu tidak jauh dari pintu toilet.

"Mas, aku mau pulang?"

Firman mengerutkan kening, "Yakin? Maksudku acara baru saja dimulai, lho!"

"Aku lelah, Mas."

"Em, gitu. Baiklah, ayo pulang!"

Keduanya berlalu begitu saja meninggalkan acara tanpa pamit pada siapapun. Firman merasa telah terjadi sesuatu dengan istrinya itu. Namun, dia ingat jika istrinya sedang hamil. Hormonnya tidak stabil jadi bisa saja mempengaruhi sang ibu.

Dalam sekejap mobil hitam yang dikendarai Firman bergerak lambat membelah jalanan. Sesekali sang pengemudi melirik pada kursi samping, mengamati istrinya yang tampak sibuk dengan pikirannya sendiri.

Dua Cinta Satu Atap Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang