5

8.8K 335 9
                                    

"Maafkan ucapanku malam itu Nia, aku tak bermaksud jahat padamu," ucap Nabilla sembari meraih tangan Rania.

"Apakah ini artinya, semua kesepakatan batal?"

Nabilla tak lekas menjawab, matanya memandang Firman memberikan sinyal dibolehkan bicara. Firman mengangguk.

"Aku masih berharap kamu mau menikah dengan Mas Firman. Tapi semua terserah bagaimana dengan kamu dan Mas Firman. Aku tidak akan memaksa."

Rania mengubah sorot matanya pada Firman. Pria yang dari tadi duduk diam di hadapan dua wanita cantik itu seolah-olah tahu jika Rania menanyakan hal yang sama pada dirinya.

"Aku juga masih ingin kamu jadi istriku Nia, tapi aku tidak mau menceraikan Billa. Aku juga tidak akan memaksamu. Semua keputusan ada di tanganmu. Aku ingin kita menikah tanpa syarat apa pun, ikhlas dari hati dan tidak ada yang merasa dirugikan atau disakiti. Aku hargai apa pun keputusanmu." Firman bicara dengan penuh keyakinan.

Suasana hening seketika, hanya terdengar detak jam dinding yang terus berputar. Ruang kantor Firman yang berada di lantai delapan sebuah gedung itu senyap.

***

"Selamat pagi, Pak!" sapa Rania sesaat setelah dipersilakan masuk ke ruangan atasannya.

"Pagi, Rania, ya?"

"Iya, Pak." Rania mengangguk.

"Silakan duduk! Kamu sudah tahu kan apa saja pekerjaanmu?"

"Sudah Pak, tadi Bu Vivi sudah menjelaskan semuanya."

"Bagus, selamat bergabung dengan perusahaan kami, ya?" kata Firman tersenyum dan mengulurkan tangan.

Rania terpikat dengan senyuman atasannya ini. Dengan senang hati Rania menyambut uluran tangan pria itu. Ada getaran hebat yang mengalir dari tangan yang saling bersentuhan itu. Segera Rania melepaskan tangannya.

"Silakan kembali bekerja, jangan sungkan bertanya jika ada masalah, ya?"

"Baik, Pak!"

"Semoga betah kerja di sini."

Rania mengangguk mantap, dalam hati dia bersyukur mendapat pekerjaan dan atasan yang memberikan kesan baik di hari pertamanya bekerja. Itu memacu semangatnya untuk menunjukkan kinerja terbaiknya.

Tok ... tok ... tok ....

Suara ketukan pada pintu membuyarkan lamunan Rania.

"Kak Nia sudah siap?" kata Alya saudara sepupu Rania. Gadis itu muncul dari balik pintu.

"Rombongan pengantin laki-laki sudah datang lho, Kak!" lanjut Alya berjalan mendekat ke arah tempat Rania duduk. Untuk sesaat dia menatap wanita di depannya yang mengenakan kebaya mewah. Harum melati dari tubuh Rania menguar, memenuhi ruangan.

"Wow! Kak Nia cantik sekali, Mas Firman gak akan berkedip melihat Kakak," puji Alya terus bicara tanpa henti.

"Nia, ayo, Nak! Semua sudah siap. Akad akan segera dimulai!" ajak Bulek Minah, ibunya Alya.

Rania mengangguk, berjalan perlahan. Kebaya putih panjang lengkap dengan hijab dan bunga melati menghiasi tubuhnya. Cantik sempurna.

Firman sudah duduk berhadapan dengan penghulu, di sebelahnya duduk bersimpuh Bu Retno dengan gamis kuning keemasan. Firman begitu tampan dengan setelan hitam berpadu dengan hem putih. Rania mencari sosok cantik yang biasanya selalu berada di samping Firman.

'Bodohnya aku, Nabilla juga wanita yang tak mungkin sanggup melihat suaminya bersanding dengan wanita lain. Apakah keputusanku menerima pernikahan ini salah? Bukankah Nabilla sudah ikhlas? Apa aku berdosa? Apa aku pelakor?' pikir Rania sepanjang akad nikah berlangsung.

Dua Cinta Satu Atap Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang