"Terima saja lamaran Mas Firman, aku ikhlas kok!" ucap Nabilla pada seorang gadis yang tiga tahun lebih muda darinya. Mata teduh wanita itu menyiratkan harapan dan permohonan."Mbak Billa sadar dengan keputusan, Mbak?" tanya gadis itu meyakinkan Nabilla. Menatap tajam pada mata sendu wanita berhijab di hadapannya.
"Aku sangat sadar Nia, aku tahu kamu mencintai Mas Firman. Aku juga tahu Mas Firman punya perasaan yang sama padamu." Nabilla meremas pundak Rania, perempuan yang dia pilih menjadi madunya.
"Mbak Billa gak sakit hati? Mas Firman kan suami, Mbak?"
Rania tak mau melepaskan tatapan matanya pada Nabilla. Ada ribuan pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Gadis itu mencarinya pada manik mata coklat milik Nabilla.
Perlahan Nabilla melepaskan tangan dari pundak Rania. Dia berjalan mendekati jendela kantor suaminya. Mendekati sang belahan jiwa yang sedari tadi berdiri mematung di samping kelambu.
"Memang sakit, tapi lebih sakit melihat Mas Firman tidak bisa memiliki keturunan. Aku yang enggak sempurna. Lalu, kenapa Mas Firman yang harus dihukum? Aku ikhlas kok Nia. Demi kebahagiaan Mas Firman." Nabilla menatap lekat suaminya, ada seraut wajah yang dipenuhi kecemasan.
Pria berewok itu membalas tatapan istrinya. Dia tidak tahu, harus menerima atau menolak. Pria itu mengalami dilema, tetapi tak berdaya.
"Aku mau menikah dengan Mas Firman, tapi Mbak Billa harus cerai dengan Mas Firman."
Spontan Nabilla dan Firman menoleh ke arah Rania. Nyaris bersamaan. Gadis modis dengan hijab merah jambu itu berdiri membalas tatapan sepasang suami istri yang tengah berdiri berdampingan di dekat jendela.
"Lupakan ide konyol ini, aku sudah cukup bahagia denganmu, La!" Firman langsung angkat bicara. Dia berjalan ke arah kursinya dan duduk dengan kesal. Amarahnya tertahan.
"Mas, aku mohon! Gak ada kesempatan kedua. Aku yakin Rania akan jadi istri yang baik." Nabilla buru-buru membujuk sang suami. Wanita itu tampak panik, tak ingin usahanya sia-sia. Dia mengikuti suaminya dan berdiri tepat di depan meja tempat sang suami duduk.
"Jika dia baik dia tidak akan meminta syarat seperti itu!" Suara Firman naik satu oktaf. Baginya syarat itu terlalu berat. Bagaimana mungkin dia harus berpisah dengan wanita yang sangat dia cintai.
"Wanita baik sekali pun tidak ingin dimadu Mas, aku mencintaimu tapi bukan berarti aku mau jadi nomor dua kan?" Rania yang sedari tadinya berdiri agak jauh berjalan mendekat ke arah tempat duduk Firman, tepat bersebelahan dengan Nabilla berdiri. Gadis itu berusaha membela diri karena merasa disalahkan.
"Jika kamu memang baik kenapa kamu mencintai pria beristri?" Firman tak berhenti memojokkan Rania.
"Aku gak pernah tahu kamu punya istri, Mas. Kamu gak pernah bilang," sangkal Rania.
"Kamu gak pernah nanya juga kan?" balas Firman cepat tanpa jeda.
"Kupikir kamu masih sendiri, mengingat kamu begitu perhatian dan peduli padaku di mana pun kita berada, bahkan kamu tidak peduli orang sekitar menganggap kita dekat. Seolah semua itu wajar untuk seorang pria bujang. Tak terlihat sedikit pun kamu berusaha menjaga perasaan orang lain, benar-benar apa adanya tanpa ada kebohongan ...." Rania tak bisa menjelaskan apa yang dia rasakan. Ada rasa kesal yang tertahan.
"Karena aku memang tidak pernah berbohong, aku selalu terbuka dan apa adanya." Firman memotong ucapan Rania.
"Tapi itu bukan sikap seorang pria yang sudah beristri, harusnya Mas bisa menjaga pandangan dan sikap sebagai seorang suami. Bukan malah tebar pesona pada semua wanita," tuduh Rania.
"Tebar pesona? Kamu pikir aku playboy yang mendekati semua wanita untuk kujadikan pasangan? Kamu tahu di kantor ini ada belasan karyawati, tanyakan pada mereka semua, adakah yang kuperlakukan spesial?" Nada suara Firman semakin meninggi. Emosinya memuncak, Firman berdiri dari kursinya.
"Cukup!" Nabilla berseru, pelan tetapi tegas. Air mata sudah meleleh memenuhi wajah cantiknya. Dada wanita itu sesak mendengar pertengkaran Firman dan Rania.
Nabilla berjalan keluar ruangan, meninggalkan Firman dan Rania yang berdiri mematung penuh dengan emosi. Nabilla menghilang ditelan daun pintu, Firman kembali terduduk lemas di kursinya.
"Pergilah! Tinggalkan aku sendiri." Firman memutar kursinya membelakangi Rania.
Rania membanting pelan laporan di atas meja yang tadinya akan ditunjukkan pada pria beristri yang baru saja melamarnya. Kemudian berlalu meninggalkan ruangan atasannya itu.
***
"Nih Mas, namanya Rania Ayuningtyas." Nabilla menyodorkan selembar foto seorang gadis mengenakan hijab putih.
"Cantik, 'kan?" lanjut Nabilla.
"Kamu yakin?" Firman meletakkan foto tanpa melihatnya. Pria itu menarik pergelangan tangan sang istri. Nabilla terduduk di samping suaminya.
"Mas, ini jalan terbaik untuk kita." Nabilla meraih tangan sang pria dengan seluruh jemari lentiknya.
"Kita cari solusi lain saja, ya?" pinta Firman mengecup punggung tangan sang istri.
"Aku gak mau sembarangan adopsi, Mas. Aku yang tidak bisa punya anak tapi kamu bisa."
"Kita akan benar-benar memilih anak yang dilahirkan dari keluarga baik-baik. Kita akan mendidik dan mencintai mereka seperti anak kita sendiri."
"Mas, perusahaan ini milik almarhum kakekku, dan dipercayakan pada kita, karena kakek yakin kita bisa mengelola dan menggunakan hartanya untuk kebaikan. Kakek berpesan agar semua hartanya tidak sampai jatuh ke tangan sepupuku. Kalau kita tidak punya anak kandung, sepupuku akan berusaha keras merebut semua ini. Dan aku tidak mau lalai menjaga amanat kakek."
"Kan ada kita yang siap membela anak kita!"
"Itu kalau usia kita panjang Mas, kalau tidak?"
"Kamu sudah tidak mencintaiku, La?"
"Kamu pikir ini tidak berat untukku, Mas? Aku bahkan tidak berani membayangkan semua ini terjadi. Tapi demi amanat kakek. Aku berusaha ihklas, Mas."
"Lagi pula Mas, kamu anak tunggal mama, jika kamu tidak punya anak maka garis keturunan berhenti padamu, meski mama tidak mengatakan apa pun. Aku yakin mama kecewa dengan kondisiku. Aku ingin melihat mama bahagia, Mas." Nabilla memeluk sang suami, air matanya meleleh.
"Jangan menangis, akan kuturuti apa pun yang kamu mau. Ingat! Ini demi kamu. Aku lakukan semua ini karena aku mencintaimu." Firman mengusap air mata istrinya. Dia juga mengecup kening Nabilla, lalu memeluknya lebih erat.
Kanker rahim membuat Nabilla harus mengubur impiannya menjadi ibu. Pilihan yang berat harus diambil. Saat itu Nabilla tengah hamil 4 bulan. Dia ingin mempertahankan anaknya, tetapi Firman tak kuasa kehilangan sang istri. Dalam keadaan kritis Firman ambil keputusan untuk menyelamatkan istrinya dan merelakan anaknya.
Keputusannya saat itu kini jadi bumerang. Nabilla memaksanya untuk menikah lagi, amanat dari kakek hanyalah sebuah alasan, yang sebenarnya adalah Nabilla tidak ingin membuat ibu mertuanya dihukum atas ketidak sempurnaannya. Ibu Firman sangat menginginkan cucu kandung.
Centring....
Sebuah pesan masuk, membuyarkan lamunan Firman.
My Lovely Wife
'Honey, sudah malam. Kenapa belum pulang?'Abhiku
'Ini sudah mau otw Sayang,'My Lovely Wife
'Hati-hati Honey,'Firman tersenyum bergegas meninggalkan kantor. Kejadian siang tadi membuatnya tak sadar hari sudah malam. Jika boleh memilih dia tak ingin menikah lagi. Pria itu sudah sangat bersyukur memiliki Nabilla.
Rania memang gadis yang cantik, pandai dan sopan. Semua pria pasti tidak akan menolak dijodohkan dengannya. Namun, ini bukan tentang nafsu, ini tentang cinta dan kebahagiaan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Cinta Satu Atap
Любовные романыPoligami tidak semudah yang dibayangkan. Seadil-adilnya seorang suami, tetap akan ada yang terluka. Lalu bagaimana cara Firman membagi cintanya pada kedua istrinya, Nabilla dan Rania.