21

398 29 5
                                    

"Mas Firman belum bangun? Apa Mas Firman sakit?" tanya Nabilla saat melihat Rania turun di tangga.

"Sudah bangun, tapi katanya mau sarapan di kamar."

"Sarapan di kamar? Tumben?"

Rania mengendikkan bahu. Wanita hamil itu mengambil makanan di piring lengkap dengan lauknya. Sementara Nabilla tampak berpikir lalu berniat mendatangi sang suami di kamar. Namun, ucapan Rania menghentikan langkahnya.

"Mbak Billa gak sadar kalau Mas Firman lagi marah? Mbak Billa enggak ingat sama kelakuan Mbak Billa kemarin? Suami mana yang gak sakit hati diselingkuhi?"

"Astagfirullah, Nia. Kan kemarin aku sudah kirim pesan ke kamu. Itu-"

"Tapi Mas Firman enggak tahu jadi wajar dia marah. Pun juga aku enggak mau aneh-aneh, Mbak." Rania berlalu begitu saja membawa makanan ke kamar.

Nabilla merasakan sesak di dada. Beberapa kali dia hembuskan napas panjang untuk membuat pernapasannya lega. Akan tetapi, nihil. Bukannya tenang justru air mata kembali mengalir. Wanita itu berlari ke kamarnya. Bersembunyi dari orang-orang yang akan menganggapnya lemah.

Beberapa menit menangis membuat Nabilla merasa lega. Dia bangkit dari ranjang berniat mengganti baju dan bersiap ke kantor. Namun, bunyi deru mobil di halaman mengalihkan perhatiannya. Wanita itu sedikit berlari menuju jendela mengintip, ternyata mobil milik Firman keluar dari gerbang rumah.

Lagi-lagi Nabilla dibuat terkejut. Setelah sekian lama menikah, meski sedang bertengkar atau ada masalah, Firman tak pernah absen mencium keningnya sebelum pergi ke mana pun. Hari ini kali pertama pria itu melakukan hal itu.

"Apa sebesar itu kesalahanku, Mas? Apa aku layak diperlakukan begini? Kenapa kau berubah, Mas?" gumam Nabilla kembali tenggelam dalam air mata.

***
Kantor sudah sedikit ramai. Firman memang datang sedikit lebih siang hari ini. Pria itu berjalan terburu-buru menuju ruangannya. Dia tak acuhkan salam sapa dari karyawan. Jelas terlihat gurat kecemasan di keningnya.

Nabilla .... Ada apa denganmu? Kenapa nomormu tidak aktif? Kenapa kamu berubah?

Dering telepon membuyarkan lamunan Firman. Pria itu berdecih lalu mengambil ponsel dengan malas. "Halo? Pak Herman, ada apa, Pak?"

"Tentang proyek properti di daerah Bandung, Pak. Sudah siap?" tanya suara di ujung sambungan telepon.

"Siap, Pak! Akan segera saya kirimkan berkasnya via email, ya? Biar Bapak bisa cek sebelum dicetak."

Firman mengembuskan napas kasar sesaat setelah sambungan terputus. Lalu, perlahan meraih gagang telepon di meja dan menekan sebuah tombol.

"Pak Darman tolong antarkan kopi ke ruangan saya!" Firman langsung meletakkan gagang telepon tanpa menunggu jawaban.

Pria dengan jambang tipis itu duduk bersandar sembari memijat kepala. Dengan mata terpejam seolah-olah menikmati setiap tekanan di pelipis. Meski terdengar pintu diketuk, pria itu hanya mempersilakan masuk tanpa membuka mata. Firman baru bergerak saat suara langkah kaki terdengar begitu dekat.

Prank!!!!

"Astagfirullah, maaf-"

"Aduh!" pekik Devi memandang bajunya yang basah dan sesekali mengibaskannya.

Firman yang baru membuka mata langsung berdiri dan hampir menabrak Devi yang memang berada tepat di samping kursi. Reflek keduanya saling berpegangan mengantisipasi agar tidak hilang keseimbangan.

Dua Cinta Satu Atap Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang