15

459 36 0
                                    

"Mbak Billa enggak ke kantor?" tanya Rania saat melihat madunya asyik menyiram bunga di taman depan.

Nabilla menoleh sejenak, melihat istri kedua suaminya keluar dengan makanan ringan di tangannya. Wanita itu tersenyum dan menjawab, "Aku berangkat agak siang. Mau langsung ketemu klien di restoran ujung jalan. Kalau dari kantor malah tambah jauh."

"Kukira libur."

"Kenapa?"

"Aku bosan di rumah, Mbak. Pengen jalan-jalan."

"Lusa kan kami libur, kita bisa jalan sama-sama," hibur Nabilla sambil sesekali mengambil daun kering di sela-sela tanaman.

"Bosannya sekarang malah disuruh nunggu lusa."

Nabilla hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.

"Ini enggak boleh, itu enggak boleh. Susah memang kalau lagi hamil," omelan Rania masih berlanjut.

Namun, Nabilla sudah tidak fokus lagi. Kenangan lama terlintas dalam benaknya. Sebulan setelah pernikahan kabar bahagia itu datang. Sebuah tes pack di tangan menunjukkan dua garis merah. Kebahagiaan terpancar jelas pada wajah sejoli yang baru saja bangun tidur.

"Aku akan jadi ayah?" tanya Firman tak percaya.

Nabilla mengangguk-angguk cepat dengan air mata mengalir di pipi. Sedetik kemudian wanita itu dihujani kecupan oleh suaminya.

"Ingat, La! Kamu sedang hamil. Enggak perlu melakukan apa pun. Nyuci, nyetrika, atau pekerjaan lainnya bisa kulakan sendiri."

"Aku bisa mengerjakannya pelan-pelan, Mas."

"Sekali tidak tetap tidak. Dosa lho melawan perintah suami."

"Iya deh, iya!"

Firman menarik Nabilla dalam pelukannya. Serasa waktu ingin dihentikannya pada hari itu.

"Mbak!"

"Heh?"

"Kok, malah melamun?"

"Em, anu ...."

"Paket!" teriak seseorang dari luar pagar.

"Sepertinya ada paket. Biar Mbak ambil dulu," ucap Nabilla mengalihkan pembicaraan. Itu pun setelah diam-diam mengusap bulir bening yang menumpuk di ujung mata.

"Biar aku aja, Mbak." Rania segera beranjak dari tempat duduknya menuju pintu gerbang.

"Pelan-pelan, Nia! Hati-hati!" Nabilla terus menatap Rania yang tampak mengobrol dengan seorang pria.

Pria itu menyodorkan sebuah paket, lebih tepatnya surat pada Rania. Setelah berpamitan pria itu pergi. Rania menutup pintu gerbang dan berjalan kembali ke teras sembari membuka amplop abu-abu di tangannya.

Nabilla yang melihat hal itu turut penasaran dengan surat yang diterima oleh Rania. Wanita itu meletakkan selang air dan mematikan keran. Lalu, menyusul Rania yang sudah duduk di teras.

"Surat apa, Nia?"

"Undangan reuni, Mbak."

"Reuni?"

"Hem, dari teman-teman SMP di kampung. Sepertinya mereka banyak yang bekerja di kota ini dan sukses. Lihatlah! Undangannya di sebuah rumah makan yang cukup terkenal," jelas Rania sembari menunjukkan undangan pada Nabilla.

"Sepertinya seru. Kamu akan datang?"

"Entahlah, Mbak. Mas Firman pasti tidak mengizinkan."

"Tidak kalau kamu sendirian."

"Benarkah? Jadi, Mbak mau pergi bersamaku?" Rania terlihat sumringah.

"Lho, kok Mbak? Kamu punya suami tentu kamu pergi dengan Mas Firman."

Dua Cinta Satu Atap Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang