22

294 22 2
                                    

"Nia, kenapa kamu diam saja? Hentikan Nabilla!"

"Biarkan saja, Ma! Ini memang sudah sepantasnya terjadi."

"Pantas?" Bu Dewi mengerutkan kening.

"Sudahlah, Ma! Aku mau istirahat. Capek."

"Tunggu, Nia! Ada apa sebenarnya?" tanya Bu Dewi dengan tangan mencengkeram lengan putrinya.

"Sakit, Ma!"

"Nia ...!"

Rania melepas cengkeraman sang ibu. Dia duduk di salah satu kursi ruang tengah dengan wajah kesal.

"Katakan, Nia!"

"Ma! Ini salah Mbak Billa sendiri. Dia pergi ke mal bersama laki-laki lain tanpa pamit pada Mas Firman. Ini tak ada hubungannya dengan Nia."

"Kamu yakin hanya karena itu?" desak Bu Dewi.

Rania susah payah menelan ludah. Ia menunduk tak berani menatap ibunya. "Tentu saja, yakin."

Bu Dewi mendekat dan menarik kasar dagu putrinya. "Lihat Mama dan katakan yang sebenarnya, Nia!"

Ada rasa takut, marah, dan juga kesal yang menggelayuti hati Rania. Rasa yang bercampur itu membuat dadanya sesak dan pelupuk mata memanas. Terlihat jelas dari bola mata yang mulai mengembun. Hal itu cukup membuat Bu Dewi tahu, anaknya tengah berbohong.

"Apa yang kamu lakukan, Nia?"

Rania memberontak, berjalan sedikit menjauh membelakangi sang ibu. "Nia hanya berjuang, Ma! Nia hanya ingin mendapatkan hak Nia. Apa itu salah, Ma?"

"Hak? Hak apa yang kamu maksud?"

"Hak sebagai istri satu-satunya Mas Firman."

Bu Dewi kembali mendekat dan berdiri tepat di depan putrinya. "Nia, kau tahu dari awal itu tidak mungkin. Kau tahu dari awal kau istri kedua dan selamanya begitu—"

"Lalu kenapa? Bukankah manusia bisa mengubah nasibnya jika mau berusaha?" Keduanya beradu tatap dengan tajam.

"Nia, ini beda. Lagi pula meski kau istri kedua kau mendapatkan semuanya. Nabilla bahkan sangat baik padamu. Dia—"

"Cukup, Ma!" Rania menjauh lagi. Dia bahkan mengangkat tangan untuk menghentikan Bu Dewi. "Mama hanya tidak tahu betapa licik wanita itu. Mama tidak cukup tahu apa saja yang sudah dia rebut dari kita. Semua ini! Rumah ini, posisi ini, sebenarnya milikku. Apa salahnya jika aku berusaha mengambilnya kembali. Apa salahnya?"

"Apa maksudmu, Nia?"

Rania yang tadi terus berteriak dengan air mata berlinang mengusap pipinya kasar. Dia berjalan mendekati Bu Dewi. Kali ini tangannya berusaha selembut mungkin menyentuh sang ibu. "Mama tahu kenapa ayah tak pernah kembali? Karena Nabilla dan ibunya, Ma. Nabilla itu putri lain ayah," bisik Rania, penuh penekanan.

Mata Bu Dewi membeliak. Rania membalas tatapan sang ibu dengan mata sayu dan penuh air mata. "Mama terkejut? Nia lebih terkejut saat tahu segalanya." Wanita hamil itu kembali mengusap wajah. Ia seperti berusaha menenangkan pergolakan di hati. "Awalnya Nia takut ini akan menyakiti, Mama. Jadi, Nia tak ingin bercerita. Tapi sekarang beda. Nia sudah berhasil merebut milik kita. Nia—"

Dua Cinta Satu Atap Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang