13

663 54 1
                                    


"Lalu apa yang kamu inginkan? Nabilla kerja kamu juga ingin kerja? Bukankah kamu sendiri yang ingin di rumah saja dan berhenti bekerja?"

Rania kembali terdiam. Dia seolah sedang berpikir untuk mendapat pembelaan atas sikapnya. Hingga akhirnya mengembuskan napas panjang dan berkata, "Ya, paling tidak jika aku di rumah tidak diperlakukan seperti pembantu, Ma!"

Kening Bu Dewi berkerut, "Siapa yang memperlakukanmu seperti pembantu? Melayani suami itu kewajiban, Nak." Wanita paruh baya itu diam sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya. "Baiklah kalau begitu, jadi sekarang maunya kamu gimana? Nabilla yang melayani suami, kamu yang kerja. Kamu sanggup memimpin sebuah perusahaan?"

"Bukan begitu, Ma!"

"Nak, jika seorang suami punya satu ekor ikan lalu diberikan kepada istrinya. Apa mungkin keduanya mendapat bagian yang sama? Kamu dapat kepala dan Nabilla juga dapat kepala, apa itu mungkin? Yang pasti salah satu dapat kepala yang lainnya dapat ekornya, kan? Tidak adil jika kita melihat dari bentuknya yaitu ekor dan kepala. Tapi akan jadi adil kalau kita melihat bahwa keduanya sama-sama makan ikan. Rasa yang sama dan nama ikan yang sama."

Rania terdiam dan berpikir.

"Adil bukan berarti sama, Nak! Mama sangat tahu poligami itu tidak mudah. Tapi jika kita bisa memahami perasaan orang lain, bisa menghargai pengorbanannya. Semua jadi lebih mudah, Nak. Kamu berpikir kamu bekerja di rumah seperti pembantu hanya karena kata-kata Alya. Jika mama katakan itu semua agar kamu lebih dekat dengan Firman apa kamu juga akan langsung percaya?"

Rania mengangkat kepalanya yang dari tadi hanya sanggup menunduk karena rasa bersalah.

"Yang mama lihat, Nabilla sengaja mengalah, mencari alasan tidak melayani suami, agar kamu yang melakukan semua itu, agar kamu lebih memahami dan lebih dekat dengan suamimu. Dan itu semua tidak mudah, Nak! Apa kamu sadar jika sudah tiga bulan semenjak pernikahanmu Nabilla dan Firman tidak tidur sekamar? Jika kamu jadi Nabilla apa kamu akan bilang itu adil?"

Bu Dewi kembali menjeda penjelasannya, memberi waktu sang putri untuk mencerna kata-katanya.

"Kamu gak tahu kan setiap malam Nabilla menangis, hatinya hancur karena suaminya sedang tidur dengan wanita lain di kamar yang lain. Apa itu juga adil buat Nabilla? Jadi yang kedua adalah pilihanmu,  harusnya kamu sudah siap berbagi apa pun dengan Nabilla. Bukan bersikap kekanakan seperti ini."

"Lalu aku harus bagaimana, Ma?" Rania meneteskan air mata.

"Sejujurnya dulu, istri papamu ingin agar mama ikut dengannya, serumah dengannya. Tapi mama menolak, karena apa? Karena mama tahu risikonya, dan mama yang memiliki rasa cemburu begitu besar terlalu takut untuk menghadapi emosi mama sendiri. Mama menolak dan memilih hidup sendiri bersamamu. Mama pikir kamu sudah siap akan risikonya, itulah sebabnya mama merestui hubungan ini."

"Apa kita harus pergi dari sini, Ma?"

"Semua keputusan tergantung suamimu, mama hanya berharap padamu, berhenti berpikir negatif. Coba lihat ketulusan Nabilla. Jangan mudah terpengaruh hasutan orang lain."

Rania memeluk ibunya, ada sesal dalam hati. Dia tidak berpikir jauh. Saat itu yang dipikirkan hanya satu, harga diri yang begitu rendah hanya karena ucapan seorang anak kemarin sore.

***

Rania dan ibunya telah siap dengan koper dan tas besar. Minggu pagi itu Firman libur ke kantor, Nabilla juga ada di rumah. Nabilla yang sedang merawat taman kecil di halaman rumahnya sangat terkejut melihat Rania dan ibunya akan pergi. Sudah seminggu sejak kejadian di kantor, sejak hari itu hubungan Nabilla dan Rania renggang. Namun, istri pertama itu tak menyangka jika madunya berniat meninggalkan rumah.

Dua Cinta Satu Atap Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang