Tragedi Kelam

1.4K 67 16
                                    

“Brak!”

Suara keras itu begitu mengagetkan, membuat seorang wanita tua berlari menuju kamar cucu perempuannya. Pintu kamar yang tak tertutup rapat, hingga memudahkan si Nenek masuk. Terlihat keadaan kamar yang begitu kacau, dengan banyak pakaian berserakan dimana-mana. Bantal dan guling yang tak lagi berada di tempatnya, buku berhamburan, begitu pula peralatan tulis lainnya. Semua begitu buruk seakan baru diserang monster gila.

Nenek tidak terkejut melihat keadaan ini, langkahnya terus saja menelusuri seisi kamar guna mencari cucu semata wayangnya. Benar saja, Afya terbaring dengan mulut dipenuhi buih putih. Nenek dengan segera mendekati tubuh Afya, memeriksa nadi dan hembusan napas yang keluar dari lubang hidungnya. Lalu bertindak cepat menghubungi tetangga sebelah untuk membantunya mengangkat tubuh berat Afya ke atas taksi.

Sepanjang jalan, Nenek terus saja menatap sendu wajah Afya. Tersirat kesedihan dan luka dalam pada wajahnya. Kesedihan dan tekanan yang Afya dapatkan selama ini, cukup membekas dibenaknya. Sepertinya ia begitu memahami sosok gadis yang tengah terbaring di atas pangkuannya.

Taksi tiba di rumah sakit terdekat, Afya dengan segera ditangani oleh para dokter dan perawat. Sedangkan Nenek hanya bisa duduk merunduk menanti kabar perkembangan cucu tersayangnya.

“Maaf, Bu. Ibu keluarga saudara Afya? Ibu diminta menemui Dokter di ruangannya!” pinta seorang perawat setelah menghampiri Nenek. Dengan senyum sayu, ia pun melangkah mendekati ruangan yang sudah diberitahukan. Wajahnya terlihat tegar, meskipun guratan pedih tergambar jelas di sana.

“Silakan duduk, Bu!” sapa ramah Dokter cantik yang ternyata sudah beberapa kali menangani Afya.

“Terima kasih, Dok,” sambut Nenek dengan senyuman tipis.

“Bu, Alhamdulilah Afya sudah sadar. Hanya saja ia harus dirawat satu sampai dua hari kedepan,” jelas Dokter Cintya dengan penuh perhatian. “Bu, maaf sebelumnya. Saya tidak bermaksud ikut campur. Hanya saja, ini bukan pertama kalinya terjadi pada Afya. Boleh saya tahu apa yang sebenarnya terjadi, kenapa Afya berulang kali nekat meminum racun dan menyakiti dirinya sendiri? Ada banyak luka di tubuhnya, Bu. Goresan di tangan, lebam biru di bagian kepala, tangan dan kaki. Juga masih banyak luka lain yang sepertinya sengaja Afya lakukan kepada dirinya.”

Nenek terdiam cukup lama, senyum tipis itu seketika memudar, berganti dengan tatapan kosong diikuti pikiran yang bercabang. Kembali teringat akan sosok ceria Afya yang begitu semangat untuk bersekolah. Namun, keceriaan itu tak berlangsung lama. Hanya dua hari, lalu setelahnya Afya kerap pulang dengan wajah sedih dan kedua mata yang membengkak. Kejadian ini terus berulang, awalnya Afya menyembunyikan semua ini dari Neneknya. Namun, tekanan yang begitu menyakitkan membuat Afya begitu tertekan hingga merasa takut untuk berangkat ke sekolah.

“Begini, Dok. Cucu saya Afya sering di buli. Tidak hanya di sekolah, tapi kemanapun dia pergi. Hanya di rumah, dia merasa nyaman. Terlebih kami hanya memiliki dua rumah yang berisi orang dewasa, hingga mereka bisa menerima keadaan tubuh Afya yang gemuk.”

Perkataan Nenek terhenti, tangisnya tak lagi bisa tertahan. Ia terus merasa terharu tiap kali mengingat keadaan cucunya. Dokter Cintya yang begitu memahami betul tekanan Afya juga turut menunjukkan wajah iba. Dengan penuh kasih, ia menggenggam lembut tangan Nenek yang sedari tadi berada  di atas meja.

“Afya terus diejek, Dok. Bahkan hingga kini ia berada di tingkat SMA. Tekanan yang ia terima semakin parah. Ada yang mengatakannya babi buntal, gajah bengkak, emak-emak, dan masih banyak lagi cacian lainnya. Awalnya saya tidak tahu, sampai saya diam-diam mengikuti Afya. Dia sering menyendiri, duduk di bawah pohon untuk menikmati bekal yang saya bawakan. Namun, bulian anak-anak itu begitu kejam. Bekal yang dibawa sengaja diambil paksa, lalu dilemparkan ke arah Afya. Saya begitu sakit hati, namun saya tak berani menunjukkan diri. Saya takut, Afya akan semakin tertekan jika dia tahu saya melihat semuanya,” ungkap Nenek, kali ini dengan air mata yang turun begitu derasnya. Perlahan, suara Nenek semakin menghilang, berganti isak tangis yang dalam. Penderitaan yang luar biasa itu, begitu membekas dalam ingatannya.

Dokter Cintya segera meraih tisu dan air mineral untuk Nenek. Ia merasa prihatin akan tekanan dahsyat yang harus dilewati Afya. Hingga tanpa sadar matanya juga turut berkaca-kaca.

Kecantikan dan fisik menjadi penilaian utama bagi wanita. Tidak ada wanita yang tidak ingin terlihat cantik dan indah dipandang. Namun, tidak semua wanita memiliki kelebihan di sana. Bukan berarti tak berusaha, hanya saja Tuhan memberikan kelebihan dan kekurangan disetiap ciptaan-Nya.

“Minumlah, Bu! Tenangkan hati Ibu. Ibu harus lebih kuat, agar bisa menguatkan Afya.”

Nenek mengangguk, meraih tisu dan menyeka air mata yang tumpah. Mencoba meneguk air yang disediakan, berharap perasaannya lebih tenang sesudahnya.

“Dok, saya harus buat apa? Saya enggak tahu ... saya takut, saya takut kalau hal lebih buruk terjadi jika saya tidak lagi berada di samping Afya.”

Dokter Cintya terdiam sesaat, ia menyadari betul apa yang tengah terjadi pada Afya. Dimana Afya sedang mengalami self harm atau lebih dikenal dengan melukai diri karena merasa tertekan, trauma dan pembulian. Tindakan ini tidak selamanya menginginkan kematian, melainkan rasa puas sesaat karena terus disudutkan. Hingga menimbulkan rasa suka menyakiti diri, dimulai dari tindakan sederhana hingga berakibat fatal yang mungkin berujung pada kehilangan nyawa. Namun, satu sisi Dokter Cintya juga tahu. Betapa besar usaha Nenek untuk meyakinkan Afya agar terus kuat untuk bersekolah hingga saat ini.

“Bu, saya akan coba berdiskusi dengan Afya selama ia dirawat di sini. Saya harap, konsultasi yang saya lakukan nantinya memberi kekuatan untuk Afya dan juga membuka pola pikirnya agar ia tidak takut untuk menghadapi banyak orang.”

“Kring! Kring! Kring!”

Dering ponsel terdengar cukup kuat hingga memekakan telinga. Suara nyaring dengan nada menyebalkan itu berhasil membuat seorang gadis terbangun. Gadis manis bertubuh gendut terlihat meraih jam weker dengan tangannya. Lalu bangkit dengan penuh kesulitan untuk memastikan angka yang ditunjukkan jarum jam.

“Hoam ...!”

Afya menguap cukup lebar sambil menutupi mulutnya dengan tangan yang terlihat begitu besar. Sangat besar hingga jari-jari tangannya nyaris tenggelam.

“Mimpi itu lagi. Kenapa aku harus terus bermimpi tentang itu? kenapa mimpi itu, bukannya mimpi indah saat bersama Nenek?” gerutu Afya dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Sepertinya mimpi buruk tentang pembulian di masa lalu kerap ia alami. Mimpi-mimpi yang selalu berhasil membuat dirinya menangis, terisak hingga merasakan sesak. Meski ia mulai terbiasa akan semua mimpi buruknya, namun bukan berarti ia baik-baik saja. Terlebih, saat ia harus menatap beberapa bekas luka yang sampai saat ini masih terukir dibagian tubuhnya. Meskipun hanya ia seorang yang melihat, namun luka-luka itu terus saja membuka ingatannya akan kecaman yang sempat ia rasakan dulu.

Kamar dengan lampu yang terus menyala dan jendela yang nyaris tak pernah dibuka bahkan mulai ia pindah kesana. Ruangan yang begitu besar dan ia huni seorang diri, tetapi terasa menyesakkan. Meskipun begitu, tak pernah sedetikpun ia tinggalkan. Baginya, rumah kecil inilah kehidupannya. Hanya ini, tanpa teman, tanpa matahari dan tanpa tiupan angin yang sudah Tuhan sediakan untuk dunia.

ABG Atas Bawah GedeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang