Sebuah Pernyataan Cinta

214 37 5
                                    

Hujan terus turun membasahi bumi, deru angin dan gemercik dedaunan meriuhkan suasana malam. Dibalik payung dan mantel hujan, Anastasia betah berdiri bergelud dengan hati.

“Maafkan aku, Dan,” ujarnya yang kemudian berbelok menuju pos satpam.

“Pak, mau antar pesanan Mas-mas yang ada di ruangan 303,” ujar Anastasia sambil merundukkan wajahnya.

“Kenapa enggak antar langsung aja, Dek.”

“Anu, Pak. Saya kebasahan. Ini juga kopi untuk Bapak dan temannya Bapak,” jelas Anastasia sembari menyerahkan pelastik yang berisi dua cangkir kopi.

“Loh, loh, dari siapa pula ini, Mba,” tanya si Bapak Satpam dengan nada bingung.

“Masnya juga yang belikan, Pak. Terima kasih ya, Pak,” ujar Anastasia yang kemudian membungkuk lalu pergi meninggalkan rumah sakit.

Tidak segera pergi, Anastasia memilih berdiri di balik mobil yang terparkir. Matanya terus menatap jauh langkah satpam yang hendak membawa masuk makanan dan selimut yang akan diberikan kepada Danil.

***
Ketukan pintu terdengar, Danil dengan senyuman yang menyeringai terlihat begitu antusias akan sosok yang akan masuk. Sepertinya ia begitu menantikan kedatangan Anastasia. Terlebih, hanya Anastasia yang ia miliki saat ini. Tanpa keluarga dan teman dekat lainnya.

“Selamat malam, Mas. Ini pesanan, Masnya.”

“Eh, cewek yang ngantar makanannya kemana, Pak?” tanya Danil yang merasa bingung.

“Anu, Mas. Mba-nya sudah pergi. Katanya kebasahan, makanya enggak mau masuk.”

Kedua mata Danil terbelalak, ia merasa tak yakin kalau cewek yang dimaksud Pak Satpam adalah Anastasia. Terlebih sudah tiga tahun lamanya mereka saling kenal, namun tidak sedetikpun ia bisa melihat sosok Anastasia yang sebenarnya.

“Tadi Bapak sempat lihat cewek itu enggak? Gimana orangnya? Takutnya salah orang lagi,” ujar Danil dengan hati yang bergejolak. Ia merasa tak yakin bahwa Anastasia benar-benar rela keluar rumah demi dirinya, namun ia begitu bahagia jika benar seperti itu kejadiannya.

Berpikir sejenak, lalu satpam itu kembali berkata, “Enggak Mas, soalnya ketutupan mantel sama payung. Oh ya, makasi ya Mas, kopinya. Pas banget ... hujan dingin begini, minum kopi.”

Danil hanya terdiam dengan mulut terperangah, ia tidak mengerti akan ucapan yang satpam itu katakan. Hanya bisa terus diam sambil memandangi punggung satpam yang perlahan menghilang.

“Aku yakin, dia belum jauh,” gumam Danil yang seketika membalikkan tubuhnya agar menghadap ke jendela kaca. Namun, kakinya begitu sakit saat digerakkan. Berusaha keras mengangkat dengan kedua tangan agar kakinya bisa berpindah. Sambil menahan rasa sakit, diikuti bibir yang meringis, Danil berhasil menatap ke arah jendela.

Rimbunan pohon yang menari karena tiupan angin menghiasi pemandangan malam ini. Hujan gerimis yang cukup deras membuat penglihatan akan area taman menjadi kabur. Tepat disudut taman dekat area parkiran salah satu lampu mati, hingga membuat Danil semakin kesulitan untuk memperhatikan area sekitar.

“Pakai payung dan mantel. Di mana sih, kamu Nes?” gumamnya yang kemudian meraih gawai. Matanya terus saja melihat pintu masuk dan area taman rumah sakit.

Nada sambung terdengar, Danil masih setia menanti suara yang akan menerima panggilannya. Namun, hingga nada sambung berakhir, Anastasia tidak kunjung mengangkat panggilannya.

Kesal dan kecewa, Danil masih betah menatap ke arah taman. Memperhatikan dengan fokus ke segala arah, berharap bisa menemukan sosok Anastasia sesuai dengan penjelasan pak Satpam.

Dering gawai terdengar kembali dan cukup mengagetkan Danil. Dengan penuh semangat ia menerima panggilan masuk yang tidak lain dari Anastasia.

“Halo, Nes,” ungkapnya dengan semangat. Berusaha kembali mencari sosok wanita yang sedang menggunakan gawai di tangannya.

“Ya.”

“Nes, kamu di mana? Makanan kamu udah sampai, makasi yah.”

Terdengar gemericik deras hujan dari balik suara Anastasia. Dentuman geluduk yang sangat bertepatan dengan yang kini Danil dengar. Keadaan ini membuat Danil merasa yakin kalau Anastasia masih berada di tempat yang sama dengannya, masih seputaran area rumah sakit.

“Nes, kenapa kamu enggak mau nemui aku?” ujarnya dengan nada bergetar seakan menahan tangis.

Anastasia terdiam, rasa sedih Danil tergambar jelas dalam benaknya. Ingin menjerit rasanya. Namun, semua ia tahan hanya karena merasa takut kembali dijauhi dan dibuli. Betah berdiri dan menatap Danil dari balik dedaunan. Wajah pria itu terlihat begitu jelas karena terangnya lampu ruangan. Berdiri menatap ke arah taman dengan gawai di telinganya. Danil terlihat begitu tampan.

Jarak mata mereka begitu dekat, namun dibatasi tingginya pagar rasa. Rasa takut, trauma dan rasa sakit yang ditakutkan mungkin kembali terjadi.

“Nes, apa kamu malu berteman denganku? Apa karena aku hanya kurir, hingga kamu enggan menemuiku?” tanya Danil dengan suara sendu diiringi kekecewaan.

Lagi-lagi Anastasia memilih diam, dengan mata yang terus menatap ke arah Danil. Tanpa disadari, air matanya jatuh perlahan mengikuti tetesan hujan malam ini.

“Nes, maaf, maafkan aku karena sudah memaksa kamu untuk datang. Aku rasa, aku yang berharap terlalu jauh. Aku ... aku menyukaimu, Nes.”

Tiada petir, namun sambaran keras menyetrum hingga ke ulu hatinya. Ingin menjerit karena bahagia, namun tertahan suasana. Senyum terkembang dengan tangan yang terus menyeka air mata.

“Kamu tidak harus menjawabnya, Nes. Dengan kamu masih mau berteman denganku saja, aku sudah bahagia. Kamu tahu, sebelum bertemu kamu, aku tidak memiliki gairah hidup. Hanya menjalani hari seadanya tanpa semangat. Tapi, semuanya berubah setelah mengenal kamu, Nes. Aku enggak tahu, apa yang menjadi masalahmu, karena kamu tidak pernah mengatakannya padaku, meskipun aku sudah menceritakan penderitaanku. Aku enggak tahu, kenapa kamu enggan berteman dan benar-benar mengunci diri di rumah. Namun, satu hal yang aku tahu, Nes. Kamu wanita baik dan tulus.”

Anastasia mendengar baik semua perkataan yang Danil ucapkan. Baginya, semua perkataan itu jujur nyata hingga berhasil menyentuh hatinya yang terdalam. Bahagia, tidak pernah sebelumnya Anastasia merasa sebahagia ini. Begitu bahagia, hingga berasa terbang dengan sayap yang terkembang.

Jantung berdetak tak karuan, diikuti gejolak merah muda yang menggebu. Terasa hangat meski tubuh kuyup di tengah derasnya hujan. Ramai, namun yang terlihat hanya aku dan kamu malam ini. Dunia terasa hanya milik berdua.

“Sekali lagi, terima kasih, Nes. Maafkan aku yang merepotkan kamu,” ujar Danil yang kemudian menutup panggilannya. Tertunduk lemas dengan jutaan rasa, bahagia karena berhasil meluapkan apa yang ia rasa, namun takut dan ragu jika Anastasia akan menjauhinya karena nekad mengatakan cinta.

“Sadar diri kamu, Nes. Dia enggak lihat tubuh gendutmu, makanya ia menyukaimu. Jika melihatnya, mungkin ia akan lari dan bisa saja membuli dirimu lagi,” bisik gelap kembali menghiasi pikiran Anastasia. Rasa bahagia yang baru saja singgah, mendadak lenyap berganti rasa takut diliputi kesedihan. Kebahagiaan itu mendadak terburai hilang dibawa angin malam.

Wajah tegang dengan bibir bergetar, Anastasia mulai melangkah pergi meninggalkan area rumah sakit. Langkahnya begitu lambat seakan tak bertenaga, merunduk tanpa asa.Tekanan di masa lalu membuatnya takut, takut berharap dan takut menatap masa depan.

“Aku enggak pantas untuk kamu sukai, Dan. Biarlah aku menemanimu, seperti dirimu yang terus menemaniku. Meski enggak pernah tahu, sampai kapan,” ujarnya yang terus menatap langkahnya.

ABG Atas Bawah GedeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang