PPKM

146 35 1
                                    

Jangan hanya melihat dengan cermin, karena hanya kekuranganmu saja yang akan terlihat. Tapi lihatlah dengan banyak indera, maka kamu akan bersyukur akan kebaikan yang bisa kau nikmati.

Gadis tambun duduk di depan komputer dengan kepala yang terbaring di atas meja. Wajahnya terlihat lelah, dengan banyak bulir keringat membasahi tubuhnya. Lidahnya menjulur keluar dengan kedua tangan menggantung ke arah bawah.

“Masih banyak lagi dan aku benar-benar capek,” gerutu Anastasia. Tiada yang bisa disalahkan, kecuali dirinya sendiri. Jika tidak karena keasikan membahas web buatannya, maka semua pekerjaan tidak ada menumpuk seperti ini.

Sesekali matanya menatap ke arah layar gawai yang terlihat bercahaya-tanda pemberitahuan masuk. Namun sayang, itu hanya pemberitahuan sosial media dan bukan pesan dari Danil. Sudah dua hari Danil tak ada kabar. Jangankan menelpon dirinya, mengirimkan pesan yang sangat singkat pun tidak.

“Ini gara-gara aku. Seminggu ini aku terlalu sibuk bahas web, sampai kelupaan balas pesan Danil. Sekarang ... aku yang kecarian. Dan ... kenapa sih, kamu enggak hubungi aku?” gumam Anastasia sambil menatap nanar ke arah layar gawai.

“Gimana kalau aku chat deluan?”

Jari jemari Anastasia pun segera bergerak, menari membentuk kalimat indah dengan pesan mendalam diakhir kalimatnya.

“Dan, apa kabar? Sehatkan? Lagi sibuk yah, kok udah lama enggak ngabarin. Maaf ya, kalau aku mengganggu.Aku hanya rindu.”

Tetapi, Anastasia merasa ragu untuk mengirimkan pesannya. Wajahnya terlihat tak yakin dengan pikiran yang terus menimbang. Beberapa kata berniat dihapus, terutama kalimat terakhir yang menyatakan isi hatinya. Namun, bukannya menghapus, Anastasia justru tidak sengaja menyentuh tombol kirim karena membaca kehebohan yang terjadi di webnya.  Tanpa melihat kembali, Anastasi meletakkan begitu saja gawainya. Prasangkanya mengatakan kalau pesan itu masih berada di sana dan belum terkirim.

“Kakak-kakak di sini pada ngerasa sebel enggak dengan PPKM? Sumpah ya, Kak. Aku tuh kesel banget. Ilmu enggak nambah, PR membludak. Mana ada guru yang super cerewet lagi. Tuh PR semua diperiksa detail. Kok rasanya enggak adil banget yah, harus beli paket, bayar uang sekolah, tapi enggak bisa dapat uang jajan, belum lagi harus bantui keluarga di rumah. Kapanlah PPKM ini akan berakhir?” tulis seorang siswi SMA yang ada di Jakarta.

“Ya sih, setuju. Kita beda versi aja. Aku kan pekerja, jadi enggak masuk setiap hari karena waktu jam kerja yang dikurangi. Alhasil gaji pun dikurangi. Kapanlah PPKM ini berakhir? Kangen jalan ma main,” tulis seorang sales cewek yang masih berusia 22 tahun.

“Enggak murid aja kok yang kesulitan. Aku juga merasakan yang sama. Sebagai guru, aku juga lelah harus pelototin layar laptop seharian. Meriksa tugas sampai syaraf mata pada mau lepas. Belum lagi, HP ku tipe lama. Cepat penuh dan jadi sering hang. Bayangkan aja, ada banyak anak yang kirim tugas. Entahlah! Mumed endasku (pusing kepalaku),” tulis guru muda yang berasal dari Jawa Barat.

“Meski PPKM, aku tetap kerja. Malah diminta lembur terus tau ....”

Tulisan ini berhasil memancing rasa penasaran member lainnya. Mereka mulai mempertanyakan akan pekerjaan apa yang tengah orang itu lakukan. Jika benar mereka tetap bisa bekerja di keadaan seperti ini, maka mereka pun ingin bergabung di sana.

“Yakin, pada mau kerja ditempatku?” tanya si penulis dibarengi emotikon tersenyum, namun keadaan terbalik.

Banyak balasan yang terlontar, rata-rata diantara mereka mengatakan ‘ya’.

“Kerja di rumah sakit. Bukannya di rumahkan, kami justru diminta lembur. Kerja harus pakai seragam berlapis. Pengap dan sesak. Setiap saat mandi keringat. Ngurusin banyak orang, lari sana sini demi menyelamatkan pasien yang sesak mendadak. Bekerja plus-plus. Meskipun aku perawat, aku harus siap mengurusi pakaian, kotoran dan makan para pasien. Itu semua karena mereka sedang diisolasi. Enggak hanya itu, kami bahkan dilarang pulang untuk waktu lama. Demi menjaga agar keluarga kami tidak tertular. Lelah lahir batin lah, pokoknya. Sedih, rindu, lelah, menangis pun enggak mempan. Pengen jerit gitu rasanya. Kadang begitu lelahnya, kami harus tidur di lorong rumah sakit. Entahlah! Harus bersyukur atau berkabung, karena tahu ada banyak orang yang harus dipecat karena PPKM ini.”

ABG Atas Bawah GedeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang