Nyaris Saja

211 37 2
                                    

Ketukan pintu terdengar diiringi panggilan nama Anastasia. Menyahut, namun suara Anastasia yang begitu lembut tidak terdengar hingga ke pintu. Membuat seseorang yang ada di baliknya terus memanggil dan mengetuk semakin kuat. Anastasia merasa sangat kesulitan untuk melangkah cepat, tubuhnya kian terasa berat dengan perut yang tidak lagi memiliki lingkar normal.

Setiap langkahnya, lemak-lemak yang bergelimir pun saling bertubrukan, membuat semua bagian tubuhnya bergoyang tak karuan. Langkah demi langkah membuat Anastasia merasa sesak, padahal hanya butuh tiga puluh langkah saja menuju pintu. Itupun melangkah, bukan berlari.

“Tok, tok, tok!”

Ketukan kembali dilayangkan, kali ini dengat ritme yang lebih cepat dan tergesa-gesa. Sepertinya seseorang di sana begitu kesal dan terlihat tidak sabar untuk minta dibukakan pintu. Tinggal sepuluh langkah lagi, Namun Anastasia tidak kunjung tiba di pintu.

“Helo ... ada orang?” ucap seseorang yang mulai merapatkan gigi karena tak kunjung mendapat sahutan.

“Ya!” teriak Anastasia setelah ia benar-benar tiba dibalik pintu.

Pintu dibuka sebahagian dengan Anastasia berdiri di baliknya. Membuat si pengetuk pintu merasa bingung dan masih betah berdiri menanti di tempatnya.

“Masukkan saja paketnya ke dekat sini!” ujar Anastasia sambil menunjuk cela pintu yang terbuka.

Orang itu menurut dan benar saja, dia seorang kurir pengantar pesanan online. Dengan segera paket kardus cokelat di letakkan di sana, tak lupa ia menyerahkan kertas tanda terima yang harus Anastasia tanda tangani.

“Terima kasih, Pak. Maaf menunggu,” ujar Anastasia sembari menyerahkan kertas yang sudah ia tanda tangani.

Tanpa kata, kurir itu hanya menerima kertas dan berlalu begitu saja. Sedangkan Anastasia hanya bisa menghela napas berat dari mulutnya, lalu meraih paket berukuran kecil dan lumayan berat.

“Aku pesan apa ya, kok belakangan ini jadi sering lupa begini. Atau jangan-jangan ... nih paket pesanan kapan dan datangnya yang telat,” gumam Anastasia sembari membaca keterangan isi.

Seketika matanya terbelalak kaget, diikuti mulut yang menganga lebar saat ia membaca tulisan ‘timbangan’.

“Ya ampun ... akhirnya datang juga. Ini kelima kalinya aku beli timbangan berat badan digital dan ini ukuran yang paling gede, aku harap bisa aku gunakan dalam jangka panjang. Karena aku sadar, tubuhku lebih mudah naik beratnya, jadi beli yang bagus dan bisa mengukur paling berat sekalian.”

Tetapi ada yang aneh dengan raut wajah Anastasia saat ini. Murung dan sendu, tak seperti kebanyakan orang yang merasa senang telah menerima paket berisi pesanannya. Kesedihan dan kecemasan tergambar jelas akan sikap tubuhnya, rasa takut dan penasaran juga turut menghiasi benaknya, namun perasaan kacau ini hanya Anastasia dan banyak wanita gendut lain yang bisa memahaminya.

“Aku yakin pasti naik lagi, tapi aku takut untuk nimbang. Tapi ... kalau enggak nimbang ya enggak tahu naiknya berapa. Dibiarin ... takutnya makin naik sampai enggak terkendali. Kalaupun tahu naik beratnya, aku juga enggak tahu harus buat apa,” gumam Anastasia masih terus memandangi paket yang bahkan belum sempat ia buka.

Detik berganti menit dan sudah dua puluh menit berlalu, Anastasia masih saja betah duduk memandang kardus cokelat tanpa membukanya. Entah mengapa bayang menakutkan akan angka yang terus bertambah membuatnya galau.

Tidak dipesan, tapi butuh. Sudah dipesan, tapi ragu pakainya.

Pergejolakan hati akhirnya teratasi, barang sudah dibeli dan mau tak mau paket harus dibuka. Sebuah benda berbentuk persegi dan terbuat dari besi berada di dalam kardus. Bedan dengan banyak deretan angka di tengahnya yang tertulis mencapai 500Kg. Bukan angka yang kecil dan menjadi sangat menakutkan bagi seorang wanita. Hingga tanpa sadar Anastasia terus menelan ludahnya berulang kali dengan mata berkaca-kaca.

“120?” gumam Anastasia sambil menginjak benda yang baru saja ia terima. “Aku yakin ini salah, oke, aku turun dulu, melompat-lompat dan berjalan beberapa langkah. Lalu comba kembali menimbang.”

Sesuai dengan perkataannya, Anastasia bergerak, berjalan, melompat lalu memasang wajah tegang untuk kembali menginjang penimbang berat badan.

“120Kg. Oke, tenang Anastasia, tenangkan dirimu,” gumamnya dengan dada yang seketika sesak hingga membuatnya sulit bernapas. Memutuskan untuk duduk di bibir ranjang dan meneguk air berharap bisa menenangkan dirinya.

“Pantas saja aku merasa sesak, yah, emang naik. Jadi gimana nih? Aku harus ngapain? Bukannya aku udah enggak makan makanan instan lagi. Aku juga enggak nyemil lagi. Aku hanya konsumsi buah doang. Aku juga enggak makan nasi sama sekali. Masa aku harus minum air putih doang biar enggak naik beratnya?” gerutu Anastasia yang kini tak lagi mampu membendung air matanya.

“Pantas saja aku dikatain Babi Buntung, Gajah Bengkak, Emak-emak, semua itu emang pantas untukku. Emang layak dilontarkan padaku. Emang ...,” ucap Anastasia dibalik isak tangisnya. Kedua tangannya kini menutupi wajah dan berharap bisa menenangkan dirinya, namun itu tidak berhasil. Hingga bisik pun terdengar.

“Mati aja, aku enggak layak hidup. Aku enggak guna. Aku sampah. Aku monster. Aku menakutkan. Siapa yang mau menerima cewek sepertiku. Aku sendiri aja malu dengan diriku, gimana dengan orang lain? Aku ... aku udah enggak punya siapa-siapa. Jikalau aku mati, tak ada yang menangisi apalagi mencari.”

Ucapan-ucapan tertekan itu terus keluar dari mulut Anastasia. Ia melangkah dengan tatapan kosong menuju dapur kecil yang ada di sudut rumahnya. Meraih pisau dan hendak menggoreskan pada nadinya. Seakan terhipnotis, ia bermaksud mengakhiri hidupnya.

Bayang-bayang di masa lalu membuatnya semakin tertekan dan kain yakin akan tindakannya. Tidak ada kebaikan, yang ada hanya rasa sakit dan kesendirian. Terabai dengan jutaan kata keji yang menyayat hati. Lelah dan penat, namun sinar terang tak kunjung menyapanya. Jika pun ada yang datang dan memberi harapan, namun rasa takut jauh lebih besar dari pujukan. Kehilangan satu-satunya orang yang mencintainya, membuat ia benar-benar merasa sendiri di tengah keramaian dunia. Tersiksa dan merana tanpa ada satu orang pun yang merasa telah menyakitinya. Semua perasaan sakit yang ia rasa, begitu dalam dan semakin sulit dikendalikan. Bertahan dalam persembunyian tidak membuat dirinya lebih baik hingga saat ini.

Pisau sudah berada tepat di atas nadi tangan kanannya. Namun, tertunda karena dering gawai dan ketukan pintu yang terdengar. Seakan tersadar, Anastasia dengan segera mencampakkan pisau ke atas meja, lalu berjalan menuju pintu sambil terus menyeka air matanya.

“Apa kamu sedang sibuk, Nes?” tanya seorang pria yang tak asing lagi suaranya.

“Tidak, Dan. Ada apa? Bukannya aku enggak ada pesanan?” ujar Anastasia yang mencoba menunjukkan nada tenang.

“Aku hanya melihat buah manggis di jalan, terus aku jadi teringat kamu. Kamu suka manggiskan?” ucapnya yang dengan sengaja menggoyangkan pelastik di tangannya hingga menimbulkan suara.

Anastasia yang masih merasa shok hanya bisa berkata, “Ya”.

“Nes, kamu enggak kenapa-kenapa kan? Atau kamu sedang sakit? Kok suaranya kamu bindeng begitu, seperti lagi flu?”

Anastasia mendadak gugup, ia tahu kalau Danil begitu perduli dan perhatian kepadanya. Namun, ia tidak menyangka Danil sepeka itu terhadap keadaannya.

“Kamu udah minum obat atau vitamin? Mau aku belikan?” tanya Danil kembali, kali ini nadanya terdengar begitu hawatir.

“Enggak usah, Dan. Masih ada stok kok.”

“Kamu yakin, Nes? Oke kalau begitu aku pamit yah. Manggisnya aku taruh di depan pintu.”

“Dan!” panggil Anasatasia kembali. Namun, Danil sudah pergi dengan motor matiknya, meninggalkan sebungkus pelastik besar berisi buah manggis.

“Terima kasih, Dan. Terima kasih untuk semuanya. Kedatanganmu benar-benar menyelamatkanku,” gumam Anastasia sembari meraih pelastik dengan tangannya melalui celah pintu yang terbuka sebahagian.

ABG Atas Bawah GedeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang