Cair

258 40 2
                                    

Beberapa desain sudah selesai Anastasia lakukan. Beberapa jam di depan komputer membuat tubuh Anastasia begitu lelah, hingga kini ia berusaha meregangkan otot dengan mengangkat tinggi kedua tangannya lurus ke atas, lalu memiringkan ke arah kanan dan kiri. Tak lupa pula ia menggerakkan dengan cepat tubuhnya ke kanan kiri berharap merasa nyaman setelah beberapa tulang bagian punggung berbunyi. Namun, tidak seperti kebanyakan orang, Anastasia tidak bisa merasakan semua nikmat itu. Karena tumpukan lemak menghalanginya.

Satu teko besar berisi air sudah habis, mau tak mau ia harus bangkit meninggalkan kursinya untuk mengisi ulang teko yang ada. Namun, lagi-lagi ia mengalami kesulitan. Jangankan untuk bangkit, menggeserkan tubuhnya keluar dari kolong meja saja begitu sulit. Berat badan yang ia miliki sungguh menyusahkan, namun tetap saja ia kesulitan untuk menurunkan barang satu kilo saja.

“Tok, tok, tok!” ketukan pintu begitu deras dan dilakukan berulang kali. Tanpa suara dan sapaan, hingga membuat Anastasia bingung dan segera melirik gawainya. Ia menyangka kalau ada kurir yang mungkin hendak mengantarkan barang untuknya. Namun, gawai itu tidak menunjukkan panggilan maupun pesan. Hingga mau tak mau, Anastasia harus bangkit untuk mendekati pintu.

“Ada paketmu yang menyasar ke rumahku! Nulis alamat tuh, yang bener. Nyusahin orang aja!” ucap lelaki tua yang tidak lain tetangga Anastasia.

“Huh!” ungkap Anastasia sambil menghela napas berat dari mulutnya. Ia mencoba melirik keluar jendela dan benar saja itu Pak Tono-suami dari Bu Rini. Pria tua yang pemarah dan suka merepet seperti nenek-nenek.

“Kenapalah nih paket datang saat Pak Tua itu yang membukakan pintu,” gerutu Anastasia, kemudian meraih paket yang sengaja diletakkan begitu saja di depan pintu kontrakan Anastasia. Berusaha meraih paket yang jauh, namun tangannya tak sampai. Hingga memaksa ia menggunakan gagang kayu, namun sayang paket itu terlalu berat.

“Apa sih isinya? Berat aman,” gumam Anastasia masih dengan pintu yang terbuka sebahagian.

Masih berusaha memikirkan cara untuk membawa paket itu masuk ke dalam rumah, seseorang sudah berada di depan pintu. Hampir saja orang itu melihat tangan gajah milik Anastasia. Dengan sedikit terkejut, Anastasia membanting pintu dan menahan dari dalam dengan tubuhnya.

“Nes, ini aku, Danil,” ucap pria yang ternyata ikut kaget mendengar suara bantingan pintu.

“Kamu ngapain?” tanya Anastasia masih dengan jantung yang berdetak tak karuan.

“Aku hanya ingin menyerahkan es yang aku janjikan. Maaf, aku kelamaan ngantarnya. Soalnya tadi banyak orderan ojek,” ungkap Danil diikuti cengiran kuda.

“Kalau begitu, boleh sekalian dorongkan paket yang ada di depan?” tanya Anastasia yang tak mau menyia-nyiakan kesempatan.

“Yang besar ini yah, oke.”

Perlahan pintu kembali terbuka dan Anastasia menerima paketan kotak besar beserta sebuah pelastik berisi es.

“Kalau begitu aku pamit yah.”

“Eh, uang esnya?”

“Sekali-kali biar aku yang bandarin dong, Nes,” ungkap Danil sebelum ia benar-benar pergi.

Anastasia tersenyum malu, kotak besar nan berat itu sedari tadi berada di tangannya dan ia sedikitpun tak merasa keberatan. Melangkah anggun dengan riangnya menuju ruang tengah. Tak lupa mengunci pintu karena tak ingin siapapun masuk, termasuk kucing tetangga yang terlalu sering menghampiri dirinya karena tahu ada banyak makanan di rumah Anastasia.

Meletakkan kardus di atas ambal dan mulai membukanya, terlihat sebuah piagam besar bertuliskan namanya dan selembar kertas berisi sertifikat tambahan. Bibir Anastasia kembali tersenyum, seketika ingatan membawanya pada sosok nenek.

“Nek, lihatlah! Jika bukan karena Nenek, mungkin aku hanya tinggal nama. Tanpa semua penghargaan ini. Meskipun bukan aku sendiri yang langsung menerimanya. Setidaknya ada namaku di sini, sebagai pertanda ini milikku,” gumam Anastasia dengan kedua mata berkaca-kaca, sambil memeluk erat piagam barunya.

“Ratatata ... Angkat woy! Telepon kantor nih! Woy, mau dipecat lu?”

“Ada apa lagi sih?”

Dengan kesulitan, Anastasia meraih gawai yang di atas meja. Sempat terjatuh, namun syukurnya benda kecil itu masih selamat tanpa ada goresan fatal.

“Huh! Syukur enggak rusak. Kalau enggak, kan repot jadinya.”

“Nes, saya sudah suruh Hendrik antarkan piagam kamu ke rumah. Tapi karena kamu keluar kota, piagamnya di titip ke rumah tetangga kamu. Yang nerima katanya Kakek Tua yang cerewet. Jadi, saya mengingatkan agar kamu menghubungi tetangga kamu. Oke.”

“Ya, Bu terima kasih banyak yah.”

“Oh ya, kamu sudah lihat bonus kamu belum? Sepertinya semua bonus sudah di transfer deh, coba kamu cek.”

“Siap, Bu.”

Panggilan terhenti, ada notifikasi email di bagian atas layar gawai. Anastasia dengan tenang menurunkan notifikasi dan membacanya. Seketika kedua matanya terbelalak begitu lebar seakan hendak keluar dari sarangnya. Angka lima dengan tujuh angka nol mengikutinya.

“Lima puluh juta? Gila bener ...,” ungkapnya masih dengan mulut yang ternganga. Ia merasa tak yakin akan jumlah angka yang ada, hingga ia kembali menghubungi Siska untuk mempertanyakannya.

“Halo, Bu. Maaf sebelumnya, apa saya enggak salah lihat atau malah kantor yang salah transfer. Kok yang masuk lima puluh juta?” ungkap Anastasia dengan nada meragu dan wajah tak karuan.

“Nah, akhirnya kamu bertanya juga. Makanya, kamu itu ya, Nes. Kalau diajak kumpul tuh ya datang. Jadi tau perkembangan kantor. Tahun ini spesial karena memperingati ulang tahun Tuan Cho. Jadi, perusahaan beri hadiah gede untuk para karyawannya, juga berbagi pada masyarakat berupa bantuan,” jelas Siska dengan nada layaknya seorang guru.

Anastasia tidak menjawab dan hanya mengangguk-angguk seperti orang yang terhipnotis.

“Terima kasih, Bu. Heheheeh.”

“Jangan terima kasih ke saya, tapi ke Tuan Cho dan Tuan Lim. Terutama Tuan Lim yang begitu ingin bertemu langsung dengan kamu. Kata beliau, beliau begitu berterima kasih akan semua desain promo kamu yang menarik. Bagaimana, apa kamu bersedia menemui Tuan Lim? Biar saya atur pertemuannya.”

“Eh, enggak bisa sekarang, Bu. Entaran aja, udah dulu ya, Bu.”

Anastasia begitu riang, hingga membuat tubuhnya melompat tinggi menjauhkan bokong dari lantai. Begitu bahagia hingga ingin menjerit rasanya.

“Huh, huh, huh, tenangkan dirimu, sekarang apa yang ingin kamu beli dengan semua uang ini?” gumam Anastasia dengan bibir terkembang kaku seakan tak bisa lagi tertutup karena begitu bahagianya.

Selembaran iklan yang tempo hari sempat Anastasia cetak terjatuh tertiup angin. Kini lembaran itu tepat berada di depannya. Kertas promo penjualan alat olahraga dan tambahan aturan membentuk tubuh menjadi ideal dalam enam bulan.

“Apa ini pertanda kalau aku disuruh membeli alat ini? Hanya dua puluh juta sih,” gumamnya dengan wajah meragu. “Ada aturan pelatihan lagi, untuk membentuk tubuh selama enam bulan,” sambungnya, sambil melirik ke arah kamar yang pintunya tidak pernah tertutup. Terlihat ada banyak alat olahraga tersimpan rapi di sana, ditutupi kain dan terlihat begitu kotor dan berdebu, karena terlalu lama tidak digunakan.

“Tu kamar udah seperti ruang gym khusus. Tapi enggak pernah digunakan. Karena ... enggak sempat. Eh, malas deng. Tapi itu karena enggak ada yang mandu sih,” gerutu Anastasia dengan wajah melirik seakan mengelak dari fakta yang terjadi.

Matanya kembali melirik ke arah gundukan lemak perut yang kini sudah berlipat menjadi lima lipatan. Wajahnya terlihat kecewa, jauh di dalam hatinya ia merasa sedih akan dirinya yang tidak pernah merasa gairah untuk berolahraga. Padahal sudah ada banyak alat olahraga yang ia miliki.

Mengapa tubuh ini begitu mudah naik dan sangat sulit diturunkan?

ABG Atas Bawah GedeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang