Chapter 23 - Bimbang

4.9K 1K 112
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul satu siang. Sena memang sedikit terlambat untuk memulai makan siang dikarenakan ada pekerjaan yang harus ia selesaikan. Perutnya sudah berbunyi minta diisi. Sena pun berpamitan pada rekan kerjanya untuk bisa beristirahat. Kebetulan rekan kerjanya yang lain sudah kembali dari makan siang mereka di luar. Jadi Sena bisa meninggalkan toko untuk sekadar mengisi perut. Namun baru saja Sena akan melangkah ke luar toko, seorang Kurir delivery menghentikannya.

“Permisi, saya mencari Ibu Senandung,” sapa sang Kurir.

Sena mengernyit, merasa sama sekali tidak melakukan pemesanan apapun.

“Ya, saya sendiri,” jawab Sena meski dengan nada bingung.

Sang Kurir tersenyum karena tak harus mencari orang tersebut. Ia pun menyerahkan bungkusan makanan yang dibawanya pada Sena. Meski ragu namun Sena tetap menerima bingkisan tersebut.

“Silakan tanda tangan, Ibu.” Kurir tersebut menyodorkan tanda terima untuk Sena tanda tangani.

“Maaf, tapi ini dari siapa, ya?”

“Pemesannya atas Nama Bapak Rian, Ibu.”

Ah, Sena mengangguk kemudian menanda tangani tanda terima. Setelah mengatakan terima kasih sang Kurir pun segera undur diri.

Sena memerhatikan nama restoran yang tertera di bungkusan. Makanan yang dipesan pria itu bukan dari restoran keluarga miliknya. Entah apapun maksud Rian, namun Sena berterima kasih pada pria itu. Sebelum kembali ke toko untuk menyantap makan siangnya, Sena mengirimkan pesan ucapan terima kasih pada Rian.

Melihat Sena kembali masuk ke toko, rekan kerjanya merasa bingung. Namun saat melihat bungkusan yang dipegang wanita itu, mereka pun akhirnya mengerti. Sena segera menuju pantry untuk menikmati makanan yang dihadiahkan Rian padanya.

Meski beberapa waktu pria itu sempat tak terdengar kabarnya, namun apa yang Rian lakukan hari ini membuat Sena berpikir. Pria itu belum menyerah. Entah sampai berapa lama Rian akan bertahan untuk mendekatinya. Sena hanya akan melihat saja usaha pria itu padanya.

Di tengah waktu santai makan siangnya, ponsel Sena berbunyi tanda pesan masuk. Tangan kirinya segera mengambil ponsel yang Sena letakkan di atas meja. Ia mengernyit saat melihat nomor yang tak dikenal mengirimkan pesan padanya. Mungkin pesan berisi spam seperti yang sering diterimanya. Namun Sena terlanjur membuka pesan tersebut. Matanya membelalak lebar saat membaca pesan yang tertera.

Sena langsung menghapus pesan dan memblokir nomor tersebut. Tanpa perlu berpikir keras, Sena tahu jika pemilik nomor tadi adalah Aditya. Namun yang menjadi tanya bagi Sena, darimana Aditya mendapatkan nomor kontaknya. Sosok Ema dan Yulia langsung terlintas di pikiran Sena. Ia bisa saja bertanya, namun ia tak ingin membuat kedua temannya itu berada di dalam posisi sulit. Karena itu Sena tidak akan memperpanjang masalah tersebut. Ia hanya perlu menghadapi Aditya dengan caranya sendiri.

Di ruang kerjanya, Aditya menunggu balasan dari Sena. Namun hingga setengah jam lamanya, tidak ada satu balasan pun dari Sena. Aditya menertawakan dirinya. Memang ada alasan bagi wanita itu untuk membalas pesannya. Bahkan bagi Sena mungkin Aditya adalah satu-satunya orang di muka bumi ini yang tak ingin ia temui.

Aditya tak kehilangan kesabaran. Jika pesannya tak dibalas, maka ia akan menghubungi Sena. Sayangnya lagi-lagi Aditya harus menelan pil pahit karena nomornya diblokir oleh Sena. Tapi tak ada raut kecewa yang dirasakan pria itu. Karena ia tahu hal ini pasti akan terjadi. Pada akhirnya Aditya hanya memandangi ponsel di tangannya.

Senandung, memikirkan perempuan itu, Aditya merasakan kebimbangan dalam hatinya. Dulu saat mereka masih berhubungan, Aditya hanya ingin bersenang-senang dengan Sekretaris cantiknya itu. Sena lah yang menyatakan perasaannya pada Aditya. Sebagai pria, sudah menjadi kodrat baginya untuk menikmati keindahan yang tersaji di depan mata.

Senandung PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang