Kabar kehamilan Sena akhirnya diketahui pihak keluarga besar baik dari pihak Ayah dan Ibu Sena. Beberapa kerabat yang dianggap sebagai orang yang dituakan di keluarga pun tak butuh waktu lama untuk tiba di kediaman Ibu Sena. Salah satu yang datang untuk mencari tahu kebenaran tersebut adalah Paman Sena yang merupakan adik dari ayahnya.
Kedatangan mereka membawa sedikit kecemasan bagi Ibu Sena dan Sekala. Mereka tahu jika Sena memang melakukan kesalahan. Tapi tetap saja sebagai keluarga yang berbagi darah dan kehidupan dengan Sena, sang ibu tak ingin putrinya dipojokkan. Sebagai seorang ibu, ia wajib melindungi anak perempuannya. Begitu pun yang dirasakan Sekala sebagai pria satu-satunya yang tersisa di keluarga mereka.
Sejak awal kedatangan, mendung sudah menghiasi wajah sang paman. Memang Sena bukan putrinya. Namun Sena adalah bagian dari keluarga besar mereka. Apapun yang menyangkut gadis itu tentu akan berdampak pada nama baik keluarga besar mereka.
“Apa benar kabar yang beredar kalau Adikmu itu sedang berbadan dua?” tanya pamannya pada Sekala secara langsung.
Sekala dan ibunya saling pandang. Mereka tahu tak akan bisa selamanya menyimpan rapat rahasia. Saat sang ibu akan berbicara, Sekala menghentikan dengan menggenggam tangan ibunya.
“Kabar itu benar adanya, Paman,” jawab Sekala dengan nada tenang.
Mata sang paman melebar. Meski sudah menyiapkan diri dengan kebenaran yang akan disampaikan. Namun saat mendengar langsung dari sang keponakan tetap saja membuatnya terkejut.
“Bagaimana bisa?” gumam sang paman penuh tanda tanya.
Untuk menjawab keingin tahuan yang satu itu, baik Sekala dan ibunya sama-sama tak punya jawabannya.
“Apa yang terjadi pada Adikmu? Kenapa sampai dia bisa berbuat seperti itu? Sekala, sebagai seorang Kakak, bagaimana bisa kamu biarkan hal ini sampai terjadi? Apa kamu tidak awasi Adikmu itu dengan baik?”
Ibunya ingin membalas cercaan sang paman. Namun lagi-lagi Sekala menghentikan sang ibu. Ia menggeleng kecil pertanda agar ibunya tak membantah. Dan menyerahkan urusan tersebut padanya.
“Mengawasi dan mendidik Sena itu tanggung jawab kamu sejak Ayahmu meninggal. Bagaimana bisa sampai terjadi seperti ini. Sena bukan hanya mencoreng nama baik keluarga kalian, tapi juga keluarga besar kita. Bagaimana kita bisa menghadapi omongan miring dari masyarakat. Apa kamu tidak pikirkan dampak dari perbuatan Sena pada nama baik keluarga?”
Nama baik keluarga. Satu kalimat tersebut terus diulang oleh pamannya. Mendengar kata tersebut, Sekala ingin meradang. Bukan Sekala tak memikirkan hal tersebut. Jika bisa, ia juga pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk tak menorehkan arang pada nama baik keluarga besar mereka. Tapi Sekala hanya manusia biasa yang tetap bisa lalai dalam setiap tindakan. Andaikan waktu bisa diputar, ia pun ingin menjaga sang adik sebaik mungkin. Tak ingin satu celah kecil menodai adik satu-satunya.
Namun sekali lagi, Sekala harus menahan dirinya agar tak lepas kendali. Ia tak ingin bersikap tidak sopan pada orang yang lebih tua. Sekala tahu adiknya memiliki kesalahan. Tapi bukan berarti mereka bisa memojokkan Sena. Seolah ia adalah orang paling hina di muka bumi.
“Tindakan apa yang akan kalian ambil saat ini? Kenapa kalian kelihatan santai sekali menghadapinya? Apa tidak ada pertanggung jawaban dari lelaki yang menghamili Sena?”
Mendengar kalimat santai sekali yang dilontarkan sang paman lagi-lagi membuat Sekala ingin meledak. Santai? Andai mereka tahu betapa kacaunya pikiran Sekala dan ibunya kala mendengar pengakuan Sena. Mereka tidak akan dengan entengnya mengatakan hal itu padanya.
“Kami tidak akan minta pertanggung jawaban apapun. Saya dan Sena sudah memutuskan bahwa kami akan membesarkan anak itu dengan cara kami sendiri, Paman.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung Pelangi
General FictionMenyandang status sebagai ibu tunggal bukan hal yang mudah. Terlebih Sena mendapatkan status tersebut di luar hubungan pernikahan. Meski dunianya seakan hancur, tapi kehadiran Pelangi mampu membuat Sena berdiri tegak. Hidup boleh sulit, tapi Sena me...