Chapter 32 - Keyakinan Yang Goyah

5.2K 1K 51
                                    

Malam itu juga mamanya meminta Rian pulang ke rumah. Ia tidak bisa menunggu lagi. Semakin cepat dirinya mendapatkan jawaban. Maka semakin mudah juga keputusan dibuat.

Penilaian awal yang Mama Rian dapatkan terhadap Sena cukup baik. Meski Sena hanya seorang pekerja di sebuah toko furnitur. Hal itu sama sekali tidak menjadi masalah baginya. Karena yang paling penting dari seseorang adalah karakternya. Bukan karena dirinya adalah seorang yang berada, berpendidikan tinggi atau terlahir di keluarga terhormat.

Sayangnya apa yang disaksikan mamanya ketika berada di restoran mereka, membuatnya tak dapat lagi melihat Sena dengan baik. Perempuan yang sudah memiliki anak dan keluarga, namun masih berhubungan dekat dengan pria lain bukanlah perempuan yang patut dipertimbangakan di mata Mama Rian.

“Kakak kamu sudah datang?” tanya mamanya pada Aruna yang sedang asyik nonton TV.

“Belum. Kenapa sih, Ma?”

Mamanya hanya menggeleng. Tak ingin menjawab keingintahuan Aruna. Ia kemudian beranjak menuju pintu depan. Memastikan tanda-tanda kedatangan Rian. Namun hingga hampir setengah jam menanti, Rian tidak muncul juga. Rasa cemas mamanya kian membesar.  Ia segera mengambil telepon untuk menghubungi Rian.

Beberapa saat menunggu, tidak ada jawaban juga dari Rian. Namun tak lama terdengar suara kendaraan memasuki pelataran rumah. Mobil yang dikendarai Rian terparkir rapi. Tak lama pria keluar dengan wajah lelah setelah seharian bekerja. Meski pun di akhir pekan, sebagai penanggung jawab usaha keluarga Rian tetap memiliki pekerjaan yang harus diselesaikan.

Melihat wajah lelah putranya, ada rasa kasihan yang yang dirasakan mamanya. Namun ia juga tak ingin masalah perjodohan Rian terjadi berlarut-larut. Ia ingin semua diselesaikan secara cepat agar Rian bisa mendapatkan jodoh yang cocok untuknya.

“Kamu sudah makan malam, Rian?” tanya mamanya ketika Rian menyalami.

“Sudah tadi di resto, Ma.”

Mamanya mengangguk. Kemudian mengajak Rian masuk ke rumah. Ia meminta salah seorang ART untuk menyiapkan teh dan mengantarkannya ke ruang kerja Papa Rian. Setelahnya ia menarik Rian menuju ruang kerja sang suami.

“Mama mau bicara penting apa?” tanya Rian yang masih digandeng oleh mamanya menaiki tangga.

“Nanti kalau kita sudah di ruang kerja Papa.”

Meksi bingung namun Rian menurut saja saat mamanya membawa ia ke ruang kerja. Tidak ada siapa pun di sana. Bahkan papanya yang biasanya adalah penghuni tetap ruangan tersebut juga tak terlihat. Beberapa saat setelah mereka tiba, pintu ruangan tersebut diketuk. Bibi yang bekerja membawakan nampan berisi kue dan minuman.

“Ma, apa yang mau Mama bicarakan dengan Rian?” tanya Rian langsung ketika hanya tinggal mereka berdua di dalam ruangan.

“Duduk, Rian. Mama mau bicara sangat serius kali ini.”

Rian menuruti perintah mamanya dengan duduk di sofa yang ada di sana. Ibu dan anak tersebut duduk saling berhadapan. Menghadapi mamanya yang tampak serius, entah mengapa Rian punya firasat yang tak enak.

“Rian, kamu tahu kan kalau Mama ingin sekali melihat kamu menikah?”

Rian terpaku, jika mamanya sudah membawa-bawa masalah pernikahan, jujur saja ia masih belum bisa memberikan kepastian.

“Ma, Rian janji pasti akan memenuhi keinginan Mama yang satu itu. Tapi Rian butuh waktu.”

Mamanya menggeleng. Sudah dapat menebak apa yang akan dijawab sang anak.

“Tapi Mama ingin segera, Rian. Kalau kamu merasa Mama terlalu memaksa, ya, Mama memang ingin memaksa kamu menikah secepatnya. Mama ingin lihat kamu segera bersanding di pelaminan.”

Senandung PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang