Hari ini toko kedatangan banyak pelanggan. Sena dan rekan-rekannya sempat merasa kerepotan. Bahkan mereka meminta pegawai cabang lain untuk membantu di toko saat ini. Sebagian besar pelanggan yang datang adalah para pasangan yang akan melangsungkan pernikahan.
Setelah menghadapi hari yang melelahkan, para pegawai akhirnya bisa bernapas lega saat waktu menunjukkan pukul lima sore. Toko mereka memang selalu buka dan tutup tepat waktu. Pengecualian jika ada pameran dan bazar di mana hampir semua pegawai diminta bekerja lembur untuk mempersiapkannya.
“Ah, kakiku pegal banget. Gila ya hari ini ramai banget. Mana yang datang para calon pengantin lagi. Memang lagi musim kawin, ya?” keluh Riri sambil memijat kakinya yang kelelahan.
“Ngomong-ngomong soal pernikahan …” Sena mengambil sebuah undangan dari tasnya. Menyerahkannya pada Riri. “Jangan lupa datang, ya.”
Mata rekan-rekan kerja yang lain membelakak kala melihat undangan pernikahan yang ada di tangan Riri. Mereka berkumpul mendekat pada perempuan itu untuk melihat undangan tersebut lebih jelas.
“Kamu mau nikah, Sen?” tanya Riri jelas saja terkejut.
Sena menggeleng. “Bukan. Tapi Mas Kal.”
Mereka tahu siapa Mas Kal yang disebutkan Sena. Beberapa kali kakak lelaki Sena itu sempat menjemput Sena. Namun mereka hanya bisa sekadar menyapa pria itu saja tanpa pernah berbincang dengannya. Dalam pandangan mereka, Sekala adalah tipe pria serius yang sulit didekati.
“Masmu yang ganteng itu? Duh, patah hati aku,” canda Widya. Membuat Sena dan yang lainnya tertawa.
“Gimana patah hati. Ngobrol saja Mbak Wid nggak pernah sama Masnya Sena.” Eko menimpali.
“Pokoknya harus datang, ya. Ajak Pak Ardi juga.”
“Pasti. Nanti kita datang kok.”
Satu persatu para pegawai mulai berpamitan. Sena pun bersiap untuk pulang. Ia dan Riri berjalan bersama menuju parkiran kendaraan.
“Kalau kamu, kapan Sen?” Riri tiba-tiba bertanya.
“Saya? Memangnya kenapa?”
“Ya, kamu kapan menyusul Masmu? Terus Gimana sama Pak Rian? Tapi ya memang beberapa waktu ini Pak Rian jarang kelihatan. Apa sudah putus?”
Diantara rekan kerjanya, memang Riri yang cukup dekat dengan Sena. Mereka sering bercerita dan menghabiskan makan siang bersama. Hingga Riri tak merasa canggung untuk bertanya.
“Saya dan Pak Rian nggak ada hubungan apa-apa.”
Riri menyipit curiga. “Aku tahu gimana gelagat laki-laki yang suka sama perempuan. Nah Pak Rian itu salah satunya, Sen.”
“Pak Rian dan saya itu cuma kenalan lama.” Sena menjelaskan meski tak sepenuhnya. “Kalau pun Pak Rian punya perasaan ke saya – ”
“Kenapa nggak dipertimbangkan, Sen. Kelihatannya Pak Rian serius,” potong Riri.
“Bukan nggak mau dipertimbangkan, Ri. Tapi justru banyak yang harus dipertimbangkan kalau saya menerima Pak Rian.”
Riri tak mengerti. Ia ingin bertanya lagi namun Sena segera berpamitan padanya. Keduanya pun berpisah dengan mengendarai motor masing-masing.
Setiba di rumah, Sena melihat mobil Sekala sudah terparkir. Tak hanya Sekala, ternyata Arina pun berada di rumah mereka. Wanita itu sedang membantu Pelangi mengerjakan tugasnya. Sena bisa melihat putrinya begitu bersemangat menanyakan banyak hal pada Arina.Makan malam kali ini Sena dan Arina yang bertugas memasak. Keduanya dapat bekerja sama di dapur dengan baik. Selama proses memasak pun sesekali Sena dan Arina berbincang mengenai persiapan pernikahan Sekala dan Arina.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung Pelangi
Fiksi UmumMenyandang status sebagai ibu tunggal bukan hal yang mudah. Terlebih Sena mendapatkan status tersebut di luar hubungan pernikahan. Meski dunianya seakan hancur, tapi kehadiran Pelangi mampu membuat Sena berdiri tegak. Hidup boleh sulit, tapi Sena me...