Azan subuh masih berkumandang di masjid saat Sena membuka matanya. Jika dulu ia begitu sulit untuk bangun dan menjalankan ibadah, sekarang tidak lagi. Sejak mengandung Pelangi, Sena memang mencoba mengubah dirinya. Lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Ia ingin menjadi contoh baik bagi anaknya kelak. Ingin mengenalkan Pelangi pada Sang Pencipta sejak kecil. Agar putrinya itu menjadi anak yang mengenal lebih dekat dengan Penciptanya saat dewasa nanti. Agar Pelangi dapat berhati-hati dalam bersikap.
Setelah membasuh wajah dan menyikat gigi, Sena membangunkan Pelangi yang masih terlelap di ranjang. Padahal Sena sudah bertekad untuk membiasakan Pelangi tidur di kamarnya sendiri. Saat Pelangi sendiri merasa siap untuk mandiri justru Sena lah yang merasa belum siap untuk terpisah kamar dengan putrinya. Hingga akhirnya Sena memutuskan untuk tetap tidur sekamar dengan Pelangi sampai ia siap melepas Pelangi tidur di kamarnya sendiri.
“Pelangi, bangun, yuk. Sudah subuh.” Sena berucap lembut di telinga sang anak.
“Eum …” Pelangi hanya bergumam. Anak itu menggeliat namun tidak membuka matanya.
Sena berusaha lebih keras lagi. Meski tak pernah melewatkan solat subuh, namun Pelangi masih cukup sulit untuk dibangunkan. Mungkin karena anak itu masih merasa mengantuk.
“Mama kasih waktu sepuluh menit lagi, ya?” ucap Sena kemudian.
Walau belum membuka matanya, Pelangi justru mengangguk sebagai respon dari ucapan Sena. Yang membuat tawa Sena tak dapat ditahan. Selama menunggu waktu sepuluh menit yang diberikan, Sena hanya memeluk Pelangi sembari membisikkan menu sarapan yang akan dibuatkan Sena untuk Pelangi nanti. Gadis kecil itu menggumam menanggapi. Sampai ketika waktu berlalu, Sena pun bersiap untuk membangunkan Pelangi kembali. Kali ini tanpa kendala. Karena dalam pelukannya, Pelangi sudah membuka matanya meski dengan wajah yang masih mengantuk.
“Yuk, wudhu dulu. Om Kal sama Nenek pasti sudah tungguin kita.”
“Eum …”
Putrinya masih berusaha keras melawan kantuk. Sena pun membantu dengan menuntun Pelangi menuju kamar mandi. Setelah selesai berwudhu, keduanya menuju musala kecil di mana Sekala dan ibunya telah menunggu.
“Masih susah dibangunin?” tanya Ibu Sena melihat cucunya yang berjalan dengan mata separuh terpejam.
“Enggak dong, Nek. Pelangi gampang dibanguninnya, kan, sayang?” Sena menjawab sembari membantu Pelangi merapikan mukenanya.
Selepas subuh, Sena mulai bersiap di dapur untuk membuatkan sarapan. Pelangi pun tak ingin ketinggalan membantu ibunya. Hari ini ia ingin dibuatkan sandwich untuk menu sarapannya. Dan untuk itu mencoba membuat sandwich-nya sendiri.
“Yakin bisa bikin sendiri sarapannya?” tanya Sekala yang kebetulan sedang mengambil minuman di dapur. Ia tampak terkejut saat melihat keponakannya sudah duduk di depan meja yang sudah tersedia bahan-bahan untuk membuat sandwich.
“Pelangi bisa kan, Mama? Buat sandwich sendiri,” ucapnyapenuh percaya diri namun tetap meminta dukungan dari ibunya.
“Bisa, dong. Pelangi kan sudah belajar. Nanti minta Om Kal untuk cobain sandwich buatan Pelangi, ya.” Sena berucap penuh keyakinan.
Sekala dapat melihat lirikan dari adiknya pertanda bahwa mereka harus memberikan keyakinan pada si kecil agar memiliki rasa percaya diri dalam melakukan segala hal.
“Kalau gitu Om Kal mau lihat Pelangi bikin sandwich-nya.”
Sekala menarik kursi makan di samping keponakannya. Pelangi pun tambah bersemangat setelah mendengar penuturan Sekala. Berhati-hati ia mulai membuatkan sandwich. Meski terkesan lamban, namun Pelangi sangat telaten dalam mengerjakannya. Ia berusaha sebisa mungkin untuk tak menyebabkan berantakan. Usaha Pelangi patut diacungi jempol karena anak itu dengan rapi berhasil membuat sandwich tanpa noda saos dan remahan roti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung Pelangi
Художественная прозаMenyandang status sebagai ibu tunggal bukan hal yang mudah. Terlebih Sena mendapatkan status tersebut di luar hubungan pernikahan. Meski dunianya seakan hancur, tapi kehadiran Pelangi mampu membuat Sena berdiri tegak. Hidup boleh sulit, tapi Sena me...