11: Aquiver

561 95 19
                                        

Aquiver

aquiv·​er | ə-ˈkwi-vər

(adj.) shaking slightly, often because of strong emotion

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Yamaguchi berjalan dengan kepalanya tertunduk, merasakan tatapan orang-orang pada dirinya. Mereka berbisik-bisik satu sama lain dengan tatapan aneh yang tertuju pada dirinya. Satu tatapan yang selalu Yamaguchi takuti dalam hidupnya. Tatapan orang-orang selalu saja seperti sedang menelanjanginya dan menghakimi dirinya, tanpa ia benar-benar mengerti alasan khusus di baliknya.

Ia masuk ke dalam kelas dengan pikirannya yang sedikit linglung. Ia hendak duduk di kursinya, ketika ia menyadari ada yang salah dengan mejanya. Seseorang atau mungkin lebih, sepertinya baru saja mencoret-coret mejanya. Yamaguchi tidak bergerak, melainkan hanya membeku di tempat, ketika matanya menyusuri satu per satu tulisan di mejanya.

Pelacur! Mati saja! Dasar homo! Menjijikkan!

Yamaguchi menoleh ke sekelilingnya. Beberapa kali, matanya bertemu dengan teman-teman sekelasnya, tapi mereka semua membuang muka, menolak untuk beradu pandang dengan dirinya. Ia duduk di kursinya dan mengambil tisu dari dalam tasnya untuk membersihkan mejanya.

Apa kalian akan bertanya-tanya, apakah ia hanya akan diam saja? Kalian tahu, rasanya seperti tidak ada gunanya untuk membela dirinya sendiri. Mereka hanya percaya pada apa yang mereka dengar dan lihat saat ini, walau mereka tidak pernah melihatnya secara langsung. Selain itu, ia juga tidak punya apa pun pada dirinya untuk mengatakan bahwa ia tidak bersalah.

Bahkan, jika mereka memang percaya kepadanya, tidak akan ada yang bisa menolongnya untuk lepas dari semua ini...

Kebanyakan dari mereka sama saja. Selalu memasang stigma pada orang lain, tapi tidak pernah mau mendengarkan suara mereka. Pada akhirnya, Yamaguchi hanya memiliki dirinya sendiri untuk bertahan.

Yamaguchi duduk diam di kursinya, seperti patung. Wajahnya pucat dan kepalanya sakit. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Menutup matanya sembari bernapas perlahan untuk menjaga agar kepalanya tetap jernih.

Sebenarnya, ia ingin menangis lagi. Ia sudah tidak tahu berapa banyak air mata yang keluar dari matanya, hanya karena ia menangisi kehidupannya yang buruk. Sudah berapa kali ia bilang ia lelah? Ia selalu kelelahan, kesulitan tidur setiap malamnya, akibat dari pikiran buruknya.

Tidak ada gunanya mengeluh. Tidak akan ada yang mendengarkannya. Tidak ibunya, tidak dirinya, dan tidak juga... Tsukishima. Ia melirik ke sekitarnya, menemukan mereka semua berbisik-bisik dan menertawai dirinya. Mereka mencoba berbicara dengan suara pelan, tapi Yamaguchi selalu bisa mendengarnya.

"Lihatlah, dia murahan sekali!"

"Aku tidak pernah menyangka, anak pendiam sepertinya bisa melakukan hal seperti itu! Benar-benar membawa nama buruk pada keluarganya!"

"Oh, tunggu sebentar. Kudengar, dia tidak punya ayah. Ayahnya sudah meninggalkannya bersama ibunya sejak ia masih kecil. Kalau kalian mau tahu, sepertinya hubungan dia dengan ibunya juga buruk. Aku tidak pernah melihat ibunya datang ke sekolah sama sekali saat ada acara."

"Begitukah? Oh, jangan-jangan ibunya juga tidak jauh berbeda dengan dirinya? Kau tahu, buah tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya."

"Atau mungkin, ayahnya malu memiliki anak yang murahan dan homo seperti dirinya."

Mereka tertawa. Menertawai nasib seorang Yamaguchi dengan mulut jahat mereka. Yamaguchi menutup telinganya, mencoba menghentikan dirinya dari mendengar-mendengar hinaan semacam itu. Namun, ia tidak bisa. Suara itu akan selalu mengikuti dirinya, tidak peduli bagaimana pun ia mencoba untuk menghentikannya.

ORPHEUS [Tsukiyama]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang