Amaranthine
am·a·ran·thine | a-mə-ˈran(t)-thən
(adj.) Eternally beautiful and unfading; everlasting.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
5 tahun kemudian...
"Aku pulang."
Tsukishima Kei melepaskan sepatunya di depan pintu sembari sesekali mengintip ke dalam rumah. Ia beranjak memasuki rumahnya, tapi langsung kebingungan saat tidak menemukan seorang pun di dalam sana.
Rumah itu terasa jauh lebih sepi dari biasanya. Ditambah lagi, ia tidak bisa menemukan orang itu di mana pun. Biasanya, orang itu akan duduk di ruang tamu dan menonton TV sembari menunggu kepulangannya.
Ia meletakkan tasnya di atas sofa di ruang tamu, lalu berjalan menuju kamarnya. Ia memasuki kamarnya dan menemukan orang yang dicarinya tengah duduk di balkon. Tsukishima Kei menghela napas lega.
"Aku pulang," ucap Tsukishima Kei di ambang pintu.
Laki-laki itu menoleh ke arahnya dan tersenyum. Tsukishima berjalan menghampiri laki-laki itu dan memeluk lehernya.
"Selamat datang, Tsuki."
Tsukishima mengecup kepala laki-laki itu dengan penuh kasih sayang. "Apa yang kau lakukan di sini? Apa kau tidak kedinginan, Tadashi?"
Yamaguchi menggeleng dan tangannya terangkat menunjuk ke arah langit malam. "Lihat ke atas sana, Tsuki. Langit malam ini sangat cantik."
Tsukishima mengangkat kepalanya untuk melihat yang ditunjuk oleh kekasihnya. Kekasihnya itu benar. Ia terpana melihat pemandangan malam itu. Malam itu, langit tampak jauh lebih indah dari biasanya. Bulan purnama bersinar dengan terang dan ditemani dengan lautan bintang berkelap-kelip di atas sana.
"Ya, kau benar," sahut Tsukishima, menyetujui ucapan Yamaguchi. "Mereka bersinar dengan sangat terang malam ini."
Yamaguchi tertawa pelan dan Tsukishima menatapnya penuh kasih sayang. Saat itu, Tsukishima Kei menghabiskan waktunya selama 2 bulan penuh dengan menunggu Yamaguchi Tadashi terbangun dari koma. Harapannya yang tipis dan keyakinannya yang kuat saat itu, berhasil memaksa takdir untuk mengembalikan laki-laki itu ke dalam pelukannya.
Lalu, di sinilah mereka. Setelah Yamaguchi keluar dari rumah sakit, mereka memutuskan untuk melarikan diri dari tempat itu. Tempat yang menghancurkan kehidupan mereka dan menjadi mimpi buruk abadi bagi mereka. Mereka melarikan diri semua orang di sana dan membangun kehidupan mereka sendiri.
Cukup sulit awalnya bagi mereka yang hanyalah murid sekolah biasa untuk membangun kehidupan secara mandiri di Tokyo. Namun, kakak laki-lakinya yang kebetulan menempuh pendidikannya di salah satu universitas di Tokyo, bersedia mengulurkan tangannya. Selain itu, Tsukishima Kei juga harus melakukan beberapa pekerjaan paruh waktu di samping jam sekolahnya, karena ia tidak membiarkan Yamaguchi untuk bekerja.
"Akhirnya, kita bisa bersama lagi," bisik Tsukishima sembari menenggelamkan wajahnya di pundak Yamaguchi. Ia senang, karena tahu perjuangannya tidak berakhir sia-sia.
Yamaguchi tertawa lagi dan Tsukishima masih mengagumi senyum itu. Walau Yamaguchi sudah kehilangan kemampuannya untuk berjalan lagi, tapi kehadiran laki-laki itu sudah cukup baginya. Jauh lebih baik daripada harus memeluk tubuh yang kaku dan dingin.
"Bagaimana harimu?" tanya Tsukishima. Ia menarik kursi dan duduk di sebelah kursi roda milik Yamaguchi.
"Aku menonton pertandinganmu tadi di televisi," cerita Yamaguchi dengan matanya yang berbinar-binar. Laki-laki itu mengangkat tangannya seperti sedang menirukan gerakannya dalam melakukan block. "Jika aku tidak pergi ke rumah sakit hari ini untuk pemeriksaan rutin hari ini, aku pasti sedang duduk di sana, mendukungmu, dan berteriak, "Nice block, Tsuki!" sekali lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
ORPHEUS [Tsukiyama]
أدب الهواةYamaguchi Tadashi mungkin memang dilahirkan sebagai seorang anak laki-laki pengecut. Takdir mempertemukannya dengan Tsukishima Kei di waktu yang tepat. Walau ia memiliki Tsukishima Kei di sisinya, tidak semua dalam kehidupannya selalu berjalan denga...