#04

256 40 13
                                    

Suara ketukan halus di pintu kamar membangunkan Calya. Matanya mengernyit, merasakan sinar matahari yang menerobos dari jendela kamar. Sepertinya ia kembali lupa menutup gorden.

Ketukan di pintu masih terdengar, membuat Calya mengeluarkan suara erangan kecil. Ia menyahut, mengijinkan si pengetuk masuk.

Nampak kepala adiknya di balik pintu, senyuman kecil terukir di wajahnya yang tampak segar. Sepertinya Naya bangun lebih awal.

"Kakak nggak bangun? Udah jam tujuh lebih, loh. Katanya mau ada bimbingan..." Suara lembut dan rintih adiknya menyapa telinga.

"Jam berapa?"

"Jam tujuh lebih lima belas menit," balas Naya tanpa menunggu.

"Oh," Calya membalas acuh, otaknya belum sepenuhnya bangun. Ia diam. Naya diam. Setelah ia sadar... "JAM TUJUH LIMA BELAS?!"

Calya dengan segera bangkit dari kasur, melempar selimut yang sejak tadi menutupi tubuhnya. Ia dengan buru-buru menuruni ranjang, hampir saja terjatuh mencium lantai karena kakinya terlilit seperei. Syukurlah ia mampu mengeimbangkan tubuh.

Ia tidak memperdulikan Naya yang menatapnya dengan polos. Kakinya dengan cekatan berlari keluar kamar, menuju kamar mandi. Rasa kantuknya sudah tidak tersisa lagi.

Ia hanya membutuhkan sekitar tujuh menit untuk selesai, berpikir bahwa ia baru saja shampoan kemarin hari, jadi untuk hari ini ia terselamatkan.

Ketika memasuki kamar tidurnya, dirinya mendapati Naya sudah tidak ada di kamarnya. Adiknya itu mungkin sekarang sedang di dapur. Ia kemudian berjalan ke arah lemari baju. Tanpa berpikir panjang, ia sudah tau apa yang harus ia kenakan hari ini.

Isi lemarinya tidak jauh dari celana jeans, kaos, jaket, flanel, juga sweatshirt. Ia punya beberapa potong blouse dan juga dress, hasil dibelikan Bunda ketika beliau masih hidup. Namun kehidupan Calya yang hanya berpusat pada adiknya, kuliah, dan kerja, membuat Calya tidak ada alasan untuk memakai mereka.

Dirinya hampir tidak pernah keluar rumah untuk hang out. Ia juga tidak benar-benar punya teman dekat di kampus yang akan mengajaknya keluar untuk main. Dirinya juga tidak merasa ingin melakukan itu. Jadi, hingga saat ini, tumpukan blouse dan dress itu hanya tersembunyi di bagian paling belakang lemari bajunya.

Ia menyisir rambut sepunggungnya dengan segera, sebelum menguncirnya asal dengan gaya ponytail rendah. Ia juga mengaplikasikan sebuah liptint cukup tipis ke bibir, berharap hal itu akan mengurangi wajah pucatnya karena kurang tidur.

Sayangnya, ketika ia selesai mengulas liptint itu, ia masih saja mendapati wajah pucatnya tampak jelas. Lagipula, apa yang dia harapkan dari tidur pukul setengah 5 pagi, dan bangun pukul 7?

Ia hanya berharap hari ini tidak akan sibuk, karena dia sendiri tidak yakin bahwa tubuhnya tidak akan kolaps. Meskipun harus ia akui bahwa bukan hanya kali ini dirinya hampir tidak tidur sama sekali.

Kakinya berjalan menuju dapur. Rumah berukuran 25 meter persegi yang dulunya terasa biasa saja kini tampak begitu lengang. Bangunan satu lantai yang terdiri atas tiga kamar tidur, dua kamar mandi, dapur, ruang tamu ini adalah hasil desain yang ayah gambar sendiri. Alasannya adalah karena Ayah ingin membangun rumah idaman seperti yang Bunda ingin.

Calya merasa terkadang, rumah ini terlalu luas untuk dirinya dan Naya. Belum lagi memori dan tiap sudut rumah yang tidak pernah gagal membuatnya kembali ingat bahwa Ayah dan Bunda kini hanya tinggal kenangan.

Calya tidak akan lagi mendapati Bunda yang sibuk di dapur ketika dirinya bangun untuk sarapan. Atau sosok Ayah yang berjongkok di teras rumah, asik dengan burung kicau peliharaan beliau yang suaranya tidak pernah gagal membuat Calya kesal. Namun kini, Calya menemukan dirinya rindu semua itu.

𝐑𝐨𝐬𝐞𝐬 & 𝐖𝐢𝐧𝐞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang