Setelah kembali tertidur selama hampir 3 jam, Calya menemukan dirinya terbangun dan merasa bahwa tubuhnya lebih baik. Dirinya menimang-nimang apakah harus tetap memaksakan diri untuk mengisi shiftnya di kelab yang akan dimulai beberapa jam lagi atau tidur.
Ia masih memiliki jatah cuti, dan jika Sena terlihat sesuai penilaiannya selama ini -sabar, tenang, acuh, dan santai- Calya merasa bahwa bosnya itu mungkin tidak akan terlalu marah.
Calya meraih ponsel yang tergeletak di nakas samping tempat tidur. Dirinya membuka kontak kemudian menekan sebaris nama bertuliskan Salmara, sosok yang dia kenal sewaktu SMA dulu.
Mereka tidak dekat, tidak juga bisa saling menganggap teman. Mungkin karena dunia mereka yang begitu berbeda, juga lingkaran pertemanan yang tidak pernah saling berkesempatan untuk mereka dekat. Namun kejadian di mana Calya membantu Salma membuat keduanya berpikir bahwa tidak akan jadi masalah untuk saling bertukar nomor ponsel.
"Halo, Salma?" Calya berkata dengan segera setelah dering ponsel diangkat. Matanya melirik jam yang ada di pojok layar ponsel. Menemukan sekarang sudah hampir pukul 5 sore, berpikir bahwa kemungkinan Salma sudah pulang dari pekerjaannya sebagai seorang manajer departemen penjualan di salah satu perusahaan ternama.
"Calya! Hai, ada apa nih?" Salma menyahut. Suara ceria khas cewek itu tidak pernah gagal membuat Calya meringis karena saking kencangnya.
Gimana bisa ada orang yang sebahagia ini? Calya tidak mengerti.
"Gue boleh minta tolong, nggak?"
"Boleh." Salma kembali membalas dengan riang.
Di tempatnya Calya mengangkat sebelah alisnya heran mendengar jawaban Salma. "Gue belum bilang mau minta tolong apa."
"Hehe, tau kok. Tapi kalo lo udah minta tolong, itu artinya urgent. Kalau sesuai kemampuan gue, pasti gue bantuin."
"Uh.. oke..." Calya membalas tidak yakin.
"Jadi lo mau minta tolong apa nih?"
"Lo bisa hubungin Sena dan bilang gue nggak bisa dateng? Gue agak nggak enak badan."
Di seberang sana, Salma terdiam. Hal itu membuat Calya menatap ponselnya, memastikan bahwa sambungan telepon belum terputus.
"Salma?" Calya kembali memanggil.
"Huh? Oh iya, bisa, bisa." Salma membalas terburu. "Lo nggak apa-apa kan, Cal?"
"Gue nggak apa-apa, kok. Cuma lelah aja."
"Lo yakin?" Terdengar bahwa Salma masih tidak percaya.
"100%." Calya membalas singkat. Senyuman kecil terukir di sudut bibirnya.
"Lo tau, Cal, gue bisa nyuruh Sena buat ngasih lo libur buat beberapa hari. Gue tau kalau lo juga lagi ngurus tugas akhir. Maybe you can use some time to rest."
"That sounds great, but I really am fine," Calya segera membalas tanpa ragu. "Tapi makasih udah nawarin. Gue beneran nggak apa-apa, Sal."
"Oke deh kalau lo nggak apa-apa." Balas Salma dengan nada menyerah.
"Makasih, Sal."
"No big deal. Gue matiin ya, Cal, bentar lagi Kevin datang. Lo jangan lupa istirahat." Salma berkata sebelum memutus sambungan.
Calya menatap ponselnya dalam diam selama sejenak. Sebuah hembusan nafas keluar dari bibirnya.
Ia memutuskan beranjak dari tempat tidur. Kepalanya sudah tidak terasa pusing, dan tubuhnya terasa lebih ringan ketika ia berjalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐑𝐨𝐬𝐞𝐬 & 𝐖𝐢𝐧𝐞
General Fiction[he fell first, he fell helplessly harder] Ini tentang dia, perempuan berusia 22 tahun yang dipaksa oleh dunia untuk menjadi kuat. Bahwa ia tidak boleh kalah dan jatuh terlalu lama. Menuntutnya mengerti bahwa dunia ini tidak akan berpihak meski ia t...