#13

159 30 13
                                    

Januar membawa mobilnya menuju sebuah parkiran dekat taman kota. Kondisi taman cukup ramai. Mungkin karena sekarang hari Sabtu, banyak yang memilih untuk menghabiskan waktu untuk sekedar piknik sederhana bersama keluarga.

Januar turun dari mobil setelah meminta Calya untuk menunggu. Ia berlari mengitari mobil, berhenti di samping pintu penumpang dan membukanya agar Calya bisa keluar.

"Ck, kalau buka pintu doang aku sendiri juga bisa!" Calya berkata kesal, sedangkan Januar cuma bisa nyengir.

"Kalau mau sambil aku gendong juga boleh," saut lelaki itu dengan percaya diri.

"Ogah." Calya melengos. Matanya menatap ke sekeliling taman kota. "Ngapain kamu ngajak aku ke sini?"

"Gabut aja. Siapa tau kita bisa jadi cameo FTV," balas Januar asal.

"Januar, serius deh!"

"Emang mukaku kayak bercanda?" Januar segera menggandeng tangan Calya dan menarik gadis itu menuju bangku kosong.

"Kita ngapain sih, Jan, di sini?" Calya kembali bertanya usai mendudukkan pantatnya ke bangku. Januar duduk di sebelahnya diam, menatap ke arah taman yang dipenuhi beberapa anak kecil yang tampak saling bermain di kejauhan.

"Nyantai," jawabnya. "Kamu pasti nggak pernah nyantai, kan? Jangan bilang kamu nggak tau nyantai itu apa?"

"Buang-buang waktu." Ujar Calya terdengar kasar.

"Tarik nafas dulu, Calya," Januar mengusap pelan rambut kepala Calya. "Kamu nggak perlu selalu tegang dan terburu-buru."

"Orang kayak aku nggak bisa buat nggak buru-buru," jawabnya lemah. Calya tidak bohong.

Orang seperti Calya tidak bisa barang sejenak saja bersantai. Ia selalu punya hal untuk dilakukan. Ia terkadang merasa bahwa waktu 24 jam tidak cukup. Namun ia sadar bahwa hal itu terjadi karena dirinya benar-benar buruk dalam mengelola waktu. Harinya akan terisi dengan kampus, kerja paruh waktu di resto, kemudian dilanjutkan menjadi bartender di kelab, dan ia akan pulang dengan kondisi tubuh super lelah dan tidur yang terasa tidak membantu.

Terkadang Calya merasa jika tidak peduli seberapa lama ia tidur, pikirannya tidak pernah benar-benar beristirahat. Hal itu hanya akan berakhir dengan ia yang bangun dan badan yang terasa semakin berat.

"Aku nggak minta kamu untuk mengubah semuanya dalam satu waktu, Calya," Januar menoleh, menatap Calya dengan mata sayu dan raut wajah yang entah sejak kapan selalu mampu membuat hati Calya lebih tenang. "Kamu sekarang nggak sendiri. Aku ada buat kamu kalau kamu ngerasa semuanya terlalu berat."

Calya merasa nafasnya tertahan, sebelum ia menghembuskannya perlahan.

"Kenapa kamu ngelakuin ini, Januar? Kamu nggak punya alasan buat baik sama aku."

"Aku calon suami kamu, kalau aja kamu lupa."

"Di atas kertas," Calya menampik. "Cuma di atas kertas. Kamu bilang tertarik sama aku, tapi ya itu. Tertarik doang nggak cukup jadi alasan kenapa kamu harus repot-repot ngelakuin semua ini. Kamu bikin aku ngerasa berhutang budi, dan aku nggak suka ngerasa punya hutang sama orang."

Januar tersenyum mendengar kalimat dari gadis galak di sampingnya ini. Mungkin karena dia sudah terbiasa berjuang sendiri. Mungkin juga karena harga dirinya. Januar bisa membaca Calya seperti buku yang terbuka, dan ia tahu bahwa Calya adalah sosok yang punya harga diri super tinggi. Dari luar, hal itu mungkin akan terlihat egois, namun melihatnya dari dekat Januar jadi tahu jika hal itu cuma cara orang seperti Calya menjalani hidup. Mereka enggan meminta tolong, tidak mau menerima bantuan orang lain karena mereka berpikir hal itu membuat mereka lemah dan menyusahkan.

𝐑𝐨𝐬𝐞𝐬 & 𝐖𝐢𝐧𝐞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang