Usai bertanya pada petugas kebun dimana letak ruang kepala sekolah, Januar menarik tangan Calya menuju ke sana, yang ditarik hanya pasrah saja dan mengikuti dalam diam.
Januar tidak tau keberanian dari mana hingga ia berani menggenggam tangan gadis galak itu. Walaupun Calya sempat memprotes dan mendebatnya, Januar masih enggan dan ngotot agar ia tetap menggandeng tangannya.
Tangan itu terasa kecil dan ringkih dalam genggamannya. Walaupun telapak tangan Calya tidak sehalus tangan wanita-wanita yang biasa ia pegang dulu, Januar justru ingin tersenyum. Hal itu hanya membuktikan bahwa selama ini Calya sudah bekerja keras. Bahwa tangan mungil itu lah yang menghidupi dia dan adiknya.
"Janu, agak pelan dong jalannya." Suara menggumam gadis itu menarik perhatian Januar. Ia menoleh, mendapati Calya yang menunduk ke lantai. Perilakunya itu membuat rambut yang tergerai menutupi dua sisi wajahnya.
"Maaf, ya. Kaki kamu pendek sih."
"Aku nggak pendek, ya! Tinggiku tuh standar!"
Januar tau itu. Cewek yang sedang dia gandeng ini mungkin bertinggi badan sekitar 155an, tapi fisiknya yang kurus dan terlihat ringkih membuatnya terlihat lebih kecil. Januar sendiri bukan yang tinggi-tinggi banget. di antara mereka berempat –Januar dan teman-temannya– Januar adalah yang terpendek. Namun jika disandingkan dengan Calya, jelas beda jauh.
"Itu kan kata kamu. Kataku mah kamu tetep pendek," Januar menyahut. Nada menggoda yang lepas dari mulutnya hanya ditimpali Calya dengan dengusan kesal. Hal itu membuat Januar tertawa lemah dan memperlambat langkah kakinya. Berharap bahwa Calya mampu menyamai langkahnya.
Tak berapa lama, tepat di belokan koridor, keduanya melihat pintu berwarna coklat yang cukup lebar. Di atasnya tergantung tulisan kepala sekolah/headmaster room yang ditulis tebal dan akan terbaca dari jarak cukup jauh.
"Kamu bisa tunggu di luar, aku cuma ada perlu bentar." Calya sedikit mendongak untuk menatap Januar.
"Kalau aku ikut masuk, boleh nggak?" Januar balik bertanya.
Calya menghela nafasnya pelan. Jika Januar sudah bertanya lemah begitu, Calya seperti tidak punya hati untuk menolak.
Kenapa juga Januar tuh bukan cowok slengean seenaknga. Kalau gini kan gue jadi nggak enak mau nolak. Bisiknya dalam hati.
"Yaudah iya," ucap Calya menyerah.
Januar membalasnya dengan senyum. Masih dengan bergandengan tangan, Januar mengetuk pintu dan menarik Calya masuk tanpa menunggu dipersilahkan.
Seorang pria yang tampak seperti umur 40an terlihat duduk dibalik meja berbahan mahoni. Kepalanya tertunduk membaca laporan-laporan yang berserakkan di atas meja. Januar berdehem, membuat pria itu mengangkat kepala dan sontak berdiri.
Sebuah raut terkejut yang disusul senyum kaku terukir di wajahnya. Calya menatap bingung ke arah Januar yang hanya menunjukkan ekspresi datar di wajah.
"P-pak J-januar Adhyasta. Ada perlu apa sampai datang kemari?" Tanya kepala sekolah tampak ragu, "maafkan saya. Anda bisa duduk dulu."
"Tidak usah," jawabnya dingin. Tatapan matanya beralih ke arah Calya. Namun kini, semburat hangat penuh humor tergambar di wajahnya. "Calon istri saya ada keperluan."
Mata kepala sekolah terbeliak kaget, kemudian pandangannya berganti ke arah Calya. Sedangkan di tempatnya berdiri, dengan tangan yang masih berada di genggaman Januar, Calya ikut terbeliak. Meski kini detak jantungnya berjalan lebih cepat dari sebelumnya.
Ia dan Januar tidak pernah membicarakan label, jadi ketika Januar menyebutnya sebagai calon istri, Calya merasa seperti jantungnya akan meloncat keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐑𝐨𝐬𝐞𝐬 & 𝐖𝐢𝐧𝐞
General Fiction[he fell first, he fell helplessly harder] Ini tentang dia, perempuan berusia 22 tahun yang dipaksa oleh dunia untuk menjadi kuat. Bahwa ia tidak boleh kalah dan jatuh terlalu lama. Menuntutnya mengerti bahwa dunia ini tidak akan berpihak meski ia t...