××
Jam makan siang sudah berakhir hampir satu setengah jam yang lalu, namun melihat dari bagaimana Calya masih harus berlari kesana kemari untuk mengantar pesanan, bisa dipastikan bahwa keadaan resto masih akan ramai hingga setidaknya satu jam kedepan.
Dirinya sudah bekerja lebih dari 6 bulan di sini, jadi Calya sudah terbiasa. Bahkan sebelum dia memutuskan untuk menambah pekerjaannya di kelab, Calya sering kali tinggal hingga resto tutup, sekedar menambah lembur. Kadang juga tip yang ia dapat cukup lumayan, membuatnya sadar tidak peduli seberapa sakit tubuhnya terasa, dia akan tetap merasa puas.
Sayangnya, hampir dua bulan ini bosnya berkata bahwa tidak boleh lagi ada jam lembur. Membuat Calya harus memutar otak kemana lagi dia harus mencari tambahan uang. Hingga akhirnya, salah satu temannya berkata untuk menjadi waitress di sebuah kelab malam. Shift yang hanya 4 jam, dengan gaji hampir menyamai gajinya di resto membuat Calya tidak berpikir panjang.
Terdengar tawa cukup menggelegar dari meja di bagian pojok dekat jendela. Diliriknya meja itu. Di sana, ada 3 orang pria dewasa yang sedang duduk dan asik bercerita. Dua diantaranya mengenakan jas semi formal, sedang yang satunya lagi dengan pakaian yang cukup santai dan kasual.
Penampilan mereka terlihat begitu mahal. Dan kini Calya sadari bahwa tiga orang itu sudah duduk di sana hampir setengah jam lamanya, tanpa memesan apapun.
"Ini si Janu belum juga muncul, touch up lipstik dulu atau apa sih?" salah seorang pria itu bertanya. Wajahnya agak sedikit kebule-bulean, mungkin dia punya darah campuran. Sosok paling jangkung yang duduk di seberangnya berkata, "tau deh. mandi dulu kali."
"Gue laper..." Sahut pria berjas dengan kulit yang lebih terlihat tan daripada dua yang lain.
"Tadi bilangnya lo udah makan sebelum kesini, gimana sih?"
"Kan gue makannya bareng Salma. Kayak nggak tau aja lo gimana kalo dia udah makan. Pesen dua porsi, dia kebagian satu setengah, gue dapet separo," keluhnya tanpa nada marah sama sekali.
Mendengar obrolan mereka, Calya yang sedang membersihkan meja tidak jauh hanya menggeleng pelan. Dari jauh, mereka mungkin terlihat menyeramkan. Dengan tubuh tinggi dari kebanyakan orang, wajah-wajah dingin dan rambut yang tertata rapi membuat mereka terlihat tidak terjangkau.
Siapa sangka obrolan mereka hanya berpusat pada makanan? Dengan ekspresi super serius mereka itu, orang mungkin akan berpikir mereka sedang membahas masalah negara atau harga saham yang sedang tidak stabil.
"Kalo udah gitu, gue mau minta juga kagak berani. Sumpah deh, gue nggak tau kalo cewek bakalan super nyeremin kalo udah masalah makanan."
"Apalagi kalo mereka mau kedatangan tamu. Udah mah lo napas deket cemilan aja mereka bakalan ngamuk kayaknya."
Cowok berpakaian kasual hanya menggeleng kasian ke arah dua temannya. "Kasian bener nasib lo. Untung Willo kalem-kalem aja kalo lagi bulanan."
Cowok dengan tampang bule berdecak. "Ya kalo ini mah lonya yang justru ngambek. Gue aja heran dihubungan lo nih yang sebenernya jantan itu lo apa si Willo." Yang dibalas anggukan setuju oleh cowok berkulit tan di sebelahnya.
"Mata lo rabun apa gimana? Jelas-jelas yang berotot dan gagah tuh gue, si Willo tuh keliatan doang jantan, aslinya lemah lembut minta disayang."
"Bucin banget taek..."
Calya meninggalkan meja dan masuk menuju dapur. Ia baru saja selesai mencuci tangan ketika rekan kerjanya memanggil namanya.
"Ada yang mau pesen tuh Cal."
Calya hanya mengangguk. Setelah memastikan tangannya kering, Calya menyambar note dan pulpen miliknya. Berjalan dengan percaya diri namun tetap sopan ke arah meja yang tadi berisi tiga orang, dan kini sudah ketambahan wajah baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐑𝐨𝐬𝐞𝐬 & 𝐖𝐢𝐧𝐞
General Fiction[he fell first, he fell helplessly harder] Ini tentang dia, perempuan berusia 22 tahun yang dipaksa oleh dunia untuk menjadi kuat. Bahwa ia tidak boleh kalah dan jatuh terlalu lama. Menuntutnya mengerti bahwa dunia ini tidak akan berpihak meski ia t...