#17

155 26 18
                                    

Januar melirik Calya dari sudut mata, mendapati calon istrinya itu menunduk dengan tangan saling bertaut di pangkuan. Ekspresi khawatir dan penuh pertimbangan tampak jelas di matanya yang dikelilingi bulu mata tebal.

Ia masih menunggu dalam diam, membiarkan gadis di sampingnya ini mengumpulkan cukup keberanian untuk mengatakan apapun yang ada di pikirannya.

"Kamu tau kalau aku nggak akan maksa kamu buat bicara kan, Lya? Kamu bisa ngasih tau kalau kamu mau, atau tetap diam kalau kamu nggak mau." Januar berusaha mengatakannya setenang mungkin.

"Aku tau, Janu," ucap Calya dengan helaan nafas. "Aku cuma nggak tau harus mulai darimana."

"Mungkin kamu bisa mulai dengan apa yang kamu rasain sekarang? Kita masih akan di perjalanan sampai 20 menit ke depan. Cukup waktu kalau kamu mau bicara. Or maybe sometime later, whenever you're ready. Nggak usah buru-buru."

Calya memainkan jarinya sendiri. Perlahan, ia menoleh ke arah Januar.

"Aku nggak bisa bilang dengan jelas yang aku rasain," ucap Calya mengawali. "Aku cuma tau kalau apapun yang aku rasain sekarang, aku nggak ngerasa pengen kabur atau apa."

"That's a good sign, right?" Januar bertanya tidak yakin.

Calya mengangguk, "it is. More than good, to be honest."

Mereka saling diam. Lagi.

"Tapi apapun itu, yang aku rasain sekarang... aku cukup nyaman. I mean, aku nggak akan bilang kalau apa yang aku rasain buruk, aku nggak tau. Semua ini terlalu tiba-tiba dan pertama kalinya buat aku. Kadang aku ngerasa kalau kedatangan kamu itu nggak nyata, kadang juga aku ngerasa pengen kabur karena aku nggak bisa bayangin kalau seandainya semua ini cuma... mimpi.

"Kayaknya, aku nggak punya cukup hati kalau seandainya semua ini beneran cuma mimpi," Calya tertawa pada dirinya sendiri. "Aku bukan orang baik, justru sebaliknya. Aku nggak merasa kalau aku pantas menerima perlakuan kayak gini, whatever you're doing to me right now. I don't think I deserved that."

"Kenapa?"

"Because at the end of the day, every single person I care about is going to leave? I don't know either. Bunda dan Ayah pergi tanpa pamit, semua orang yang ngaku keluarga pun milih buat ngelupain aku sama Naya. Aku nggak benar-benar punya temen karena orang lain bilang aku terlalu sulit buat ditemenin."

"Mungkin karena kamu ketemu orang yang salah selama ini? Who cares? Blood doesn't make a family, Calya. How you treat and respect each other does. Kalau mereka yang ngaku keluarga kamu pergi dengan alasan apapun itu, mungkin mereka bukan keluarga kamu. You're a good person. A great sister. A very hard-working too. And that's enough."

Calya menatap Januar. Mungkin karena tatapan itu terasa berbeda dari biasanya, Januar merasa nafasnya tercekat di tenggorokan. Calya tidak menatapnya dengan ekspresi dan wajah datar yang biasa gadis itu tunjukkan. Tidak dengan tatapan penuh sarkasme dan penilaian yang membuat Januar ragu dan bertanya-tanya. Tidak juga dengan tatapan kosong seperti gadis itu memaksa Januar untuk menebak isi kepalanya.

Calon istrinya itu menatap Januar dengan sorot terbuka. Matanya seperti jendela lebar yang membiarkan Januar bisa melihat apa yang coba Calya simpan rapat-rapat. Ia seperti membiarkan Januar tahu apa yang ada dalam pikirannya. Sesosok rapuh yang mungkin tidak akan pernah Januar kira akan tersimpan dalam diri seorang Calya.

Pada akhirnya, Calya hanyalah seorang kakak pertama perempuan yang berusaha agar adiknya baik-baik saja. Bahwa Calya selalu berusaha terlihat tidak apa-apa karena tidak mau adiknya khawatir, meski semua tau bahwa harinya berjalan dengan kocar-kacir.

𝐑𝐨𝐬𝐞𝐬 & 𝐖𝐢𝐧𝐞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang