Hari ini berlalu selayaknya angin. Sejak Januar sampai di kantor, ia sudah disibukkan dengan presentasi yang ada di jadwalnya. Meskipun ia sempat dibuat emosi ketika rapat dengan departemen finansial tadi pagi, Januar berusaha membuat dirinya kembali bersikap biasa.
Rapat dengan para pemegang saham bisa sangat menyebalkan. Para orang tua setengah abad yang kerap Kevin panggil 'generasi 𝘣𝘰𝘰𝘮𝘦𝘳' itu sering kali datang dengan ide-ide lawas yang hampir-hampir membuat Januar memukul kepalanya sendiri ke arah tembok.
Tapi keinginannya itu harus ia tahan dulu, sebab kini, Januar sedang mengemudi di dalam mobil untuk menemui Mami. Sesuai janji beliau yang ingin makan siang bersama. Di hati kecilnya, Januar merasa bersalah. Semenjak mengambil alih posisi CEO di perusahaan milik keluarganya, Januar jarang sekali pulang ke rumah. Ia hampir lupa bagaimana rasa masakan Mami yang begitu khas.
Mungkin nggak salah juga jika Mami menyebutnya anak durhaka.
Kini, ia hanya berharap bisa meredakan amarah Mami dengan memenuhi keinginan beliau untuk makan siang bersama.
10 menit perjalanan dari kantornya, Januar sampai juga di salah satu resto langganan Mami. Restoran itu cukup mewah, berada di tengah-tengah distrik bisnis yang cukup ramai. Januar melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Masih ada lebih dari cukup waktu untuknya makan siang, ia hanya berharap bahwa antrian tidak begitu panjang.
Suara kerincing bel yang tergantung di pintu resto berbunyi kala Januar mambuka pintu dan berjalan masuk. Matanya menyisir ke seluruh ruangan. Mencari keberadaan Mami, juga mendapati kondisi resto yang cukup ramai. Hembusan nafas lega keluar dari mulutnya kala mendapati bahwa antrian tidak begitu panjang. Meski mengetahui Mami, beliau pasti memilih layanan VIP yang membuat Januar tidak akan repot antri atau memanggil karyawan dan menunggu gilirannya dipanggil.
"Selamat siang, selamat datang di Blue De Azure. Atas nama siapa?"
"Ria Adhyasta." Januar membalas pendek.
"Baik, bisa tolong ikuti saya? Ibu Ria sudah menunggu sejak 10 menit yang lalu."
"Terima kasih."
Januar mengikuti pelayan menuju ruang terpisah. Di balik pintu, bisa Januar dapati Mami yang kini duduk dengan kaki bersilang, juga mata yang sibuk dengan sebuah majalah fashion di pangkuan.
Ia mendudukkan diri di depan Mami. melepas blazer suit yang ia kenakan, kemudian menggulung lengan bajunya sampai ke siku.
"Siang, Mi." Sapanya dengan tenang.
"Baru sampai, Jan? Sesibuk itu ya kamu?" Mami bertanya sembari menaruh majalah yang sempat beliau baca. Wajahnya yang tampak masih muda terangkat, mata tajam yang beriris sama dengan Januar menatap ke arahnya.
"Baru sempet keluar, Mi. Sibuk banget dari pagi." Keluhnya.
"Sesibuk apapun kamu, jangan lupa istirahat. Mungkin bener kata Cakra, kamu perlu liburan... dan istri."
Januar menggeleng sembari mendengus. "Sejak kapan Mami bestie-an sama Cakra. Biasanya juga Mami yang paling getol ngomelin dia."
"Sejak Cakra bilang kalau kamu kurang liburan dan butuh istri," Mami mengedikkan bahu. "Mami setuju sama dia."
Januar hanya menggeleng lemah. Jemarinya menyurai rambutnya ke belakang. Membuat rambut yang sempat ia beri gel dan ia tata rapi kini tampak lebih acak-acakkan.
"Mami tau sendiri aku sibuknya kayak apa. Mau main ke rumah aja aku nggak sempet, apalagi nyari istri."
"Makanya Mami suruh nyari istri biar kamu punya alasan supaya kamu ngurangin sibukmu itu. Kamu udah makin gedhe, Januar, Mami sama Papi juga nggak makin muda."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐑𝐨𝐬𝐞𝐬 & 𝐖𝐢𝐧𝐞
General Fiction[he fell first, he fell helplessly harder] Ini tentang dia, perempuan berusia 22 tahun yang dipaksa oleh dunia untuk menjadi kuat. Bahwa ia tidak boleh kalah dan jatuh terlalu lama. Menuntutnya mengerti bahwa dunia ini tidak akan berpihak meski ia t...