Calya memasuki resto dari pintu belakang. Berjalan menuju loker untuk ganti baju. Shiftnya akan dimulai sekitar 15 menit lagi, jadi ia punya waktu cukup untuk berganti mengenakan baju kerjanya.
Januar mungkin sedang sibuk di kantor saat ini, meskipun beberapa menit sebelum ia berangkat ke resto, Januar sempat menelpon dan berkata bahwa Calya harus mempertimbangkan saran Januar yang bagi sebagian besar orang, pasti terdengar gila.
Mungkin juga Calya lebih gila karena dirinya mempertimbangkan saran itu daripada langsung menolak.
Ia tidak tau harus memulai obrolan seperti apa dengan Naya. Calya tau bahwa adiknya itu akan langsung setuju, selama Calya menghendaki, Naya tidak akan protes. Calya mengenal adiknya, sudah paham betul bagaimana cara berpikir Naya bekerja. Adiknya itu mungkin saja terlihat sangat polos dan tidak tau apa-apa, namun Naya jelas punya mindset yang seringkali membuat orang lain mengerutkan alis dan dahi. Seolah bertanya; nih orang kok bisa mikir seliar ini?
Seperti Calya, Naya tidak masalah dengan urusan orang lain. Selama ia menghendaki dan tidak mengganggu urusan Naya dan kehidupannya, gadis itu akan bersikap bodo amat. Calya kadang bertanya-tanya, apakah moralitas yang selama ini Calya anut juga mempengaruhi sang adik, atau memang adiknya sudah seperti itu sedari awal.
Meski begitu, Calya tetap saja sedikit takut jika harus memberi tahu Naya tentang ide Januar beberapa jam lalu. Ia mungkin saja terlalu parno dan Naya tidak akan mempermasalahkan, tapi lagi-lagi, Calya memikirkan bagaimana tidak nyamannya Naya nanti jika harus tinggal serumah dengan orang asing. Mungkin tidak sepenuhnya orang asing, tapi tetap saja mereka belum lama saling kenal.
Calya berjalan mendekati meja yang sudah menjadi bagian untuk ia layani. Keadaan resto tidak terlalu sibuk, bahkan terkesan lengang. Mengingat jam makan siang sudah berlalu, orang-orang itu mungkin sudah pergi menuju tempat kerja masing-masing.
Sosok dua orang yang mengisi salah satu meja di pojok ruangan menarik perhatian Calya. Dari pakaian yang mereka kenakan, sepertinya memang kedua orang itu berjanji untuk bertemu. Rambut yang tergerai di masing-masing kepala membuat wajah mereka sedikit samar, juga kacamata hitam yang salah satu dari dua orang itu kenakan, membuat keberadaan mereka cukup mencolok.
Siapa juga yang pake kacamata padahal lagi di indoor? Benak Calya mendengus tidak percaya.
Meski begitu, ia tidak mengeluarkan komentar apapun dan berjalan mendekati meja keduanya.
"Selamat siang, selamat datang di Renjana Resto. Sudah tau mau pesan apa?" Calya bertanya dengan nada seramah mungkin. Berharap bahwa kalimatnya itu tidak keluar sebagai sarkasme.
"Kita mau pesan dua porsi nasi goreng udang, sepiring mi udon, terus minumnya jus jeruk." Seorang dari mereka berkata sembari menatap buku menu tanpa menoleh ke arah Calya.
Tangannya dengan cekatan menulis setiap pesanan yang gadis itu ucapkan.
"Oke ada lag–"
Ucapan Calya terputus kala gadis itu mendongak. Matanya terbeliak menatap ke arah Calya. Ucapannya yang sempat terputus membuat sosok berkacamata turut menatap Calya. Ia segera menarik kacamata itu turun sembari menatap Calya terkejut.
"Calya?"
"Salma?"
•••
Sosok berkacamata yang terlihat super konyol di mata Calya ternyata adalah Kiara Solastika. Selebgram sekaligus artis yang sempat Januar perkenalkan padanya beberapa hari lalu.
Setelah saling bertukar sapa, Calya menjelaskan bahwa ia tidak bisa berada di meja mereka terlalu lama. Mengingat shiftnya baru saja dimulai dan akan sangat tidak etis jika ia justru mengobrol. Calya menolak, meski Salma berkata bahwa managernya tidak akan marah jika Salma yang meminta.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐑𝐨𝐬𝐞𝐬 & 𝐖𝐢𝐧𝐞
General Fiction[he fell first, he fell helplessly harder] Ini tentang dia, perempuan berusia 22 tahun yang dipaksa oleh dunia untuk menjadi kuat. Bahwa ia tidak boleh kalah dan jatuh terlalu lama. Menuntutnya mengerti bahwa dunia ini tidak akan berpihak meski ia t...