Sesampainya di supermarket, Calya segera menuruni mobil, yang kemudian diikuti oleh Januar.
"Makasih udah nganterin. Saya bisa naik taksi nanti." Ujar Calya dengan berniat mengusir Januar secara halus.
Cowok itu menatap Calya dengan sorot tawa. Sebelah alisnya terangkat dan senyuman tipis terukir di bibirnya. Kepalanya menggeleng tidak mengerti, seperti ia baru saja mendengar lelucon tidak lucu. "Jangan ngelawak, Calya. Saya anterin kamu pulang."
"Saya udah cukup ngerepotin kamu loh," Calya berusaha meyakinkan. Kakinya berjalan mengikuti Januar yang kini meraih troli dan memasuki pintu supermarket.
"Saya nggak merasa direpotin sama kamu," balasnya dengan santai. "Nah, sekarang kamu mau berdiri nunggu di luar apa ikut saya masuk dan beli bahan makanan?"
Melihat ekspresi di wajah Januar, Calya mendengus. Ia berjalan masuk mendahului Januar, membiarkan lelaki itu mengikutinya di belakang dengan troli yang ia dorong.
"Rasanya aneh," bisiknya pelan. Namun posisi keduanya yang cukup dekat membuat Januar mendengarnya lebih dari jelas.
"Apanya yang aneh?"
"Kita. Kamu ikut saya belanja kebutuhan rumah. Padahal kamu bisa pulang terus santai di rumah." Calya membalas sembari memasukkan bahan-bahan yang sudah ia hafal ke dalam troli yang Januar dorong. Ia sedang mencari tanggal kadaluarsa di sebuah kemasan roti yang tengah ia pegang kala Januar berdiri di sebelahnya, "saya nggak merasa direpotkan. Lagian saya juga lagi gabut. Hal apa yang bisa orang gabut lakuin kalo bukan belanja kebutuhan rumah?"
Mendengar itu, Calya melirik Januar dari ujung mata. Lelaki itu dengan acuh memasukkan beberapa bungkus roti sandwich ke dalam troli. Sesuatu yang tidak luput dari perhatian Calya. Ia ingin protes, mengingat roti sandwich tidak masuk ke dalam daftar barang yang ingin dia beli.
"Banyak," Calya menjawab setelah beberapa saat. "Baca buku sambil minum coklat panas. Marathon film. Atau mungkin nongkrong. Temen-temen kamu kayaknya asik."
"Mereka asik," Januar mengangguk setuju. "Tapi seharian bareng orang kayak mereka juga bikin lelah. Apalagi Cakra. Itu anak kayaknya punya energi double dari manusia kebanyakan."
"Mereka pasti nggak seburuk itu, kok."
"Cakra sendirian itu udah bikin darah tinggi. Ditambah Kevin dan Sena? Bikin saya punya bibit stroke diusia muda." Januar menjawab, meskipun dari ekspresi lelaki itu, bisa Calya pastikan bahwa Januar dan ketiga temannya pasti punya hubungan yang cukup dekat. "Tapi kita sudah terlalu lama bareng-bareng, jadi saya sudah terbiasa. Mi instan?"
"Huh?" Calya tidak menyadari bahwa sedari tadi ia menatap wajah Januar. Kini, ia ingin menampar pipinya sendiri karena ia tampak seperti orang bodoh.
"Saya tanya, kamu mau beli mi instan juga? Saya nggak ngerekomendasiin, sih."
"Oh," Calya menggeleng. "Nggak usah."
Mendengarnya, Januar hanya mengangguk. Sebuah senyuman kecil tampak di wajah lelaki itu ketika matanya menatap Calya.
Keduanya melanjutkan penjelajahan mereka di lorong-lorong supermarket. Troli mereka sudah penuh dengan barang yang ada di daftar milik Calya. Mulai dari bahan makanan dan dapur, hingga kebutuhan sehari-hari seperti sabun dan sebagainya.
Mereka berjalan menuju kasir. Jarum digital yang berada di kasir menunjukkan pukul 9 kurang 15 menit, membuat tidak banyak antrian yang ada di sana. Usai di total, termasuk barang-barang random milih Januar, Calya mengacungkan kartu debit miliknya. Namun, sebelum tangan milik kasir sempat meraih kartu itu, tangan Januar sudah lebih dulu menyodorkan kartu miliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐑𝐨𝐬𝐞𝐬 & 𝐖𝐢𝐧𝐞
General Fiction[he fell first, he fell helplessly harder] Ini tentang dia, perempuan berusia 22 tahun yang dipaksa oleh dunia untuk menjadi kuat. Bahwa ia tidak boleh kalah dan jatuh terlalu lama. Menuntutnya mengerti bahwa dunia ini tidak akan berpihak meski ia t...