Dari ujung mata, Calya mendapati Januar yang beberapa kali menatap bergantian ke arahnya dan jalan raya. Tidak ada satupun kata yang keluar dari bibir lelaki di sebelahnya ini, dan Calya juga tidak memiliki tenaga lebih untuk membuka obrolan.
Ditangkapnya Januar yang membuka mulut, tidak ada kata yang keluar dari sana sebelum lelaki itu kembali menutup mulutnya. Hal itu terjadi beberapa kali. Jika saja suasananya tidak melelahkan seperti ini, Calya mungkin sudah akan menyemburkan tawa karena Januar terlihat begitu gugup. Lucu.
"Calya..." akhirnya setelah beberapa jenak, lelaki itu memulai.
"Hm?" Calya masih tidak mengalihkan pandangannya dari jendela mobil. Memperhatikan kendaraan yang berjalan melewati mobil yang mereka tumpangi.
"Udah makan malam belum?" Tanya yang Januar utarakan jelas berada diluar dugaan Calya.
"Belum. Tapi saya nggak laper," balasnya datar.
"Makan dulu, ya? Masih ada sisa makanan yang Mami saya buat tadi siang." Ujar Januar.
Calya menatap Januar dengan tatapan aneh. "Kamu mau ngajak saya ke apartemen kamu?"
Januar tidak menjawab, hanya menganggukkan kepala sekali, seperti hal itu bukanlah hal yang aneh. "Masih sisa banyak. Kalau cuma buat kita berdua, masih cukup, kok."
"Kamu tahu nggak betapa anehnya ucapan kamu tadi?" Calya menyahut, nada kesal hampir terlolos dari mulutnya. "Saya nggak kenal kamu, kamu nggak kenal saya. Kamu bisa aja kriminal yang jadi buronan FBI dan jadiin saya korban pembunuhan."
Mendengar itu, Januar justru terbahak. "Saya nggak tahu kalau otak kamu bisa beranggapan sejauh itu. Kayaknya kamu perlu ngurangin nonton dokumentasi kriminal deh, Cal."
"Serius, Januar!"
"Saya juga serius, Calya." Januar menatap Calya dengan humor di mata yang tidak repot ia tutupi. "Tenang aja, catatan kriminal saya bersih, kok. Satu-satunya tindakan kriminal yang pernah saya lakuin mungkin nyuri uang dari brangkasnya Mami buat liburan bareng Cakra dan anak-anak."
Calya berdecak. Mengabaikan ucapan Januar. "Mau ya, Calya?"
Calya menimang sebentar. Dan ia ingin sekali meninju diri sendiri karena menemukan dirinya mempertimbangkan saran Januar. Karena jika otaknya yang berbicara, Calya mungkin akan dengan tegas menolak dan meminta turun lalu berjalan pulang ke rumah. Namun bodohnya, Calya memilih untuk menuruti hati kecilnya –yang baru sadar ia miliki– dan mengangguk.
Senyuman lebar yang muncul di bibir Januar hanya dibalas putaran mata jengah oleh Calya. Lelaki itu bersikap seolah baru saja menang lotre. Dan Calya adalah grand prize yang sudah lama Januar inginkan.
"Kalau kamu berani macam-macam, saya nggak akan ragu buat pake semprotan merica yang ada di tas saya."
"Saya nggak akan berani, kok."
•••
Januar membawa Calya memasuki apartemennya. Dibiarkannya gadis galak itu menatap seluruh interior yang ada di sana. Berada di lantai atas, dinding kaca yang menjulang tinggi sebagai pembatas antara ruangan dan dunia luar menyajikan pemandangan kota. Kendaraan di bawah sana yang berlalu lalang, juga gedung-gedung yang lampunya menciptakan kesan seperti taburan bintang, Januar meninggalkan Calya bersama dengan pikirannya sendiri."Cantik banget," ucap gadis itu pelan. Seperti berharap bahwa tidak seorangpun mendengar. Namun Januar yang sejak tadi memperhatikan gadis itu tau.
Kupluk hoodie yang kini terlepas dari kepala, membuat rambut hitam sepunggung milik Calya terlihat. Hoodie kebesaran miliknya, juga celana jeans kulot yang ia pakai hampir membuat sosoknya tenggelam. Calya terlihat begitu mungil di mata Januar. Lucu.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐑𝐨𝐬𝐞𝐬 & 𝐖𝐢𝐧𝐞
General Fiction[he fell first, he fell helplessly harder] Ini tentang dia, perempuan berusia 22 tahun yang dipaksa oleh dunia untuk menjadi kuat. Bahwa ia tidak boleh kalah dan jatuh terlalu lama. Menuntutnya mengerti bahwa dunia ini tidak akan berpihak meski ia t...