#26

100 14 25
                                    

   
•••
 

Setelah menempuh obrolan panjang soal dimana Kanaya akan melanjutkan sekolahnya, Calya menemukan dirinya terdiam di bibir pintu dapur yang menghadap ke arah pekarangan samping rumah.

Matahari hampir tenggelam, dan Naya kini sedang berada di kamarnya. Kedua mata Calya masih menyisakan sembab karena pada akhirnya, ia membiarkan dirinya menangis di hadapan sang adik. Selama lima tahun terakhir, Calya selalu mendoktrin dirinya sendiri; bahwa sebagai Kakak, dia harus jadi kuat di hadapan adiknya. Bahwa tidak peduli selelah apa tubuh dan mentalnya, ia tidak akan membebani Naya dengan keluhan-keluhan omong kosong tentang betapa ia merasa emosinya terkuras.

Kehadiran Naya tidak pernah gagal, tidak peduli sesibuk dan semelelahkan harinya, mampu membuat Calya setidaknya tersenyum tulus tanpa perlu berpura-pura. Pancaran mata coklat bening milik Naya selalu menyimpan kepolosan yang membuat Calya terus berusaha mempertahankan kepolosan itu.

Namun siapa yang mengira, bahwa adiknya yang pendiam dan selalu tenang tidak pernah luput memperhatikan, menilik dan menilai gerak-geriknya.

Hati kecilnya masih terus berkata bahwa Calya telah gagal, bahwa harapannya untuk melihat Naya selalu tersenyum dan bahagia hancur olehnya sendiri setelah hari ini melihatnya menangis. Bahwa usaha kerasnya selama ini sia-sia.

Meski begitu, sebagian besar dirinya berkata bahwa tidak apa-apa terlihat lemah sesekali. Toh, bukan berarti usahanya selama ini terbuang sia-sia. Naya mungkin tau bahwa Calya sering kali berpura-pura, namun semesta tau bahwa kedoknya itu hanya agar adiknya percaya bahwa selama ini, mereka baik-baik saja. Bahwa meskipun mereka hanya memiliki satu sama lain, Calya akan tetap mampu menjaga Naya. Bahkan jika seluruh dunia memojokkan mereka, Calya akan selalu berada di belakang Naya. Mendukung dan menjaga agar Naya selalu baik-baik saja, agar setidaknya, meskipun Naya harus berpisah lebih awal dengan orang tua mereka, adiknya itu akan mengenal lebih dari cukup kasih dan perhatian walaupun hanya dari dirinya.

Matahari akan tenggelam sebentar lagi, dan besok hari Senin akan datang. Calya tidak tau sesibuk apa dosennya, namun beliau berkata bahwa Calya tidak perlu datang untuk bimbingan karena beliau sendiri tidak akan berada di kampus. Merasa bahwa tidak ada gunanya datang ke kampus jika memang dosennya tidak hadir, Calya berpikir untuk tinggal di rumah, sebelum memulai kerja paruh waktunya jam 2 siang nanti.

Matanya mengecek jam di ponsel yang kini ia genggam. Hampir pukul 6 sore, dan Calya tidak ada kegiatan apapun.

Dirinya berpikir sejenak, menimang apakah ia harus mengabari Januar sebelum datang ke apartemennya atau langsung saja ke sana. Merasa akan sangat tidak sopan datang tanpa mengabari, Calya memutuskan untuk menelpon Januar lebih dulu.

"Halo, Lya…" Suara Januar selalu mampu membuat degup jantung Calya seperti berpesta. Tapi disisi lain, suara lembut milik Januar juga yang bisa membuat Calya tenang.

"Januar," Calya menyahut setelah berdehem.

"Tumben nelpon. Ada apa?"

Calya kembali berdehem. "Kamu di rumah nggak?"

"Kenapa?"

"Nggak apa-apa. Aku gabut aja, kalau nggak ganggu, aku mau kesana." Calya berkata langsung tanpa babibu. Di seberang sana, Januar terdiam. Membuat ragu menyusup dalam benak Calya.

"Januar?"

"Eh? Eh, tumben. Nggak biasanya kamu mau main dengan sukarela."

"Nggak boleh?" Calya bertanya dengan nada datar.

"Bukan gitu," Januar segera menyahut. "Kaget aja. Nggak biasanya kamu mau main ke apartemenku. Aku inget kamu ngamuk-ngamuk pas aku ajak ke sini."

"Siapa yang nggak ngamuk kalau baru sekali main tiba-tiba ditawarin nikah?" Calya balik bertanya. Kalimatnya keluar tidak sabar. "Jadi gimana? Boleh apa nggak?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 21 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

𝐑𝐨𝐬𝐞𝐬 & 𝐖𝐢𝐧𝐞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang